Edelweis Terakhir
Siti Muhlisoh[i]
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto
Air itu tak terbendung lagi. Hamparan yang kulihat tak seperti biasanya. Lautan. Pemandangan yang sungguh indah. Setiap pagi aku melihat bebek yang muncul- tenggelam. Bukan hanya bebek kurasa, ada banyak yang muncul dan tenggelam disana. Bahkan, kandang ayam kakekku tak terlihat lagi. Hanya wadah makan ayam yang terbuat dari bambu itu yang kulihat, terombang ambing oleh genangan air. Banyak orang yang lalu lalang. Anak- anak bermain air bersuka cita. Entahlah, kebahagiaan atau penderitaan yang seharusnya dirasakan. Perahu – perahu karet pun ikut menghiasi lautan coklat itu. Perahu karet yang ditumpangi orang-orang berpakaian orange yang ototnya kelihatan itu sesekali mampir. Menengok rumahku sambil mengajak aku dan kakekku untuk menaiki perahunya. Meski sudah ribuan orang mengajaknya meninggalkan rumah. Tetap saja, Ia tak mau meninggalkan rumah tuanya dengan alasan yang tak dapat dirasional. Aku sebagai cucu satu-satunya tak pernah mampu melawannya.
Hari itu,
Aku tak pernahmelihat kakek sebahagia itu. Kabar dari pamanku yang hidup di pegunungan Dieng mengawalinya. Paman datang dari rumahnya membawa seikat bunga edelweis. Apa yang indah dari bunga itu? Pikirku. Tapi, kubiarkan saja kakek tenggelam dalam masa lalunya. Toh, Ia bahagia. Kakek memang mengidamkan bunga itu, bunga keabadian. Katanya. Bunga itu memiliki sejarah yang ia miliki bersama cinta pertamanya dulu.
Kakek tak mau meninggalkan rumah yang hampir di penuhi air itu, Ia tak mau meninggalkan edelweis yang disayanginya itu. Sejak tadi pagi, Aku mencoba meyakinkan pada kakek. Bunga itu akan mati. Tapi sungguh tak ada orang yang seteguh itu pendiriannya. Ia yakin, bunga itu masih ada. Dan akan tetap hidup, itu bunga yang abadi. Ia selalu percaya bahwa bunga itulah yang membuat cintanya sejati. Sejati apanya? Buktinya, Ia tak pernah menikah dan bahagia dengan mantan kekasihnya.
∞
Kabut pagi itu tak mau melepaskan pelukannya pada kebekuan embun yang sedari tadi menyelimuti. Diruang langit yang tak begitu bersemangat. Sartini, seorang wanita berkulit putih pucat dengan rambut ikal yang hanya beberapa helai karena habis diporoti oleh obat-obatan yang diminumnya tempo hari, duduk membisu pada batu besar pinggir tebing belakang rumahnya. Pagi dipunggungi sunyi. Sepi. Tak seperti biasanya, orang-orang pagi itu tak ada yang lalu lalang mangkat ke kebun atau sekedar mengaliri air untuk mandi atau mencuci. Sartini terpaku memutar-mutar pikirannya setelah kemarin sore ia menguping pembicaraan ayah tentang penyakitnya. Ya, penyakit yang tak dapat di sembuhkan oleh mantri desa atau dokter yang di datangkan dari kota sekalipun. Sejak saat itu, Sartini sering melamun dan duduk seorang diri ditepi tebing. Ia terlalu sibuk memikirkan bagaimana ia bisa hidup lebih lama atau menunggu kematian oleh dirinya sendiri tanpa orang lain ikut gelisah menunggu. Hingga pada suatu hari, seorang bernama Miharja datang dari Jakarta mengabarkan tentang kebahagiaan, tentang sebuah ketulusan. Sartini hidup bahagia. Paginya tak lagi berkabut, malamnya tak lagi kelam. Sartini, melukiskan kenangan bersama lelaki kota yang baru saja dikenalnya. Kematian yang dulu menguntitnya tak lagi ia hiraukan. Hingga senja itu datang, ketika malaikat bersayap datang menjemputnya, membawanya kesebuah tempat kebahagiaan paling abadi yang pernah diceritakan ibu dan ayahnya dulu. Sartini, wanita biru yang hampir membeku itu meminta agar Miharja memetikan seikat edelweis sebagai tanda keabadian kasih sayang mereka. Entah tertipu oleh sebuah mitos. Pintanya, tentang sebuah pengorbanan dan perjuangan dari lelaki kota itu. Baginya, janji lelaki adalah dedaunan yang semena-mena berserakan, sampai kematian merangkul dan mengantarkannya ke surga, Ia tak pernah menjumpai edelweis dambaannya. Sartini, pulang tanpa membawa bau edelweis.
∞
Sebuah potongan kayu bergoyang sekenanya, mengapung pada air yang tumpah di lantai rumah petak yang sudah bertahun kami –aku dan kakek- tinggali. Aku termenung cemberut dalam lamunan, memikirkan cara berpikir kakekku yang tak dapat dimengerti. Bertengger pada sebuah meja yang dipenuhi perabotan rumah tangga dengan sebuah kepiluan mengibas-ibaskan air. Kakek memandangiku dengan perasaan bersalah. Saat itulah pertama kalinya aku melihat kakekku menghamburkan air matanya. Kata-kata dari mulutnya mengalir begitu saja selaras dengan air yang menetes di pipi keriputnya, mengeja kalimat tentang maknakeabadian sebuah bunga pegunungan bernama Edelweis. “Janji adalah hutang, tapi ketika orang lain harus ku korbankan, hutang itu tak dapat kubayarkan, Jika pohon terakhir telah ditebang, ikan terakhir telah ditangkap dan sungai terakhir telah mengering, manusia akan sadar bahwa uang tak dapat dimakan”[ii] Kalimat itu keluar dari mulutnya yang biru, sedang aku masih membisu. Edelweis adalah sebuah bunga keabadiaan yang bila di berikan seorang pada kekasihnya cintanya akan abadi, aku tahu tentang mitos itu dari kakakku yang selalu berusaha mencuri edelweis milik kakek meski tak pernah berhasil. “Aku akan menunggui Edelweis ini agar tak mati sebagai permohonan maaf dariku untuknya, karena telah menintipkan janji yang tak pernah kuambil lagi”. Aku semakin tak mengerti pada ucapan kakekku itu. Edelweis, janji, entahlah.
∞
Sore itu air sudah mulai surut, orang-orang sudah kembali kerumahnya masing-masing untuk membersihkan lumpur-lumpur yang menerobos masuk pintu rumah. Begitu juga kami –aku dan kakek- sibuk membereskan rumah dan menempatkan perabot rumah tangga yang bertumpukan dimeja makan. Ruang langit tak lagi muram, Ia mulai menyingungkan senyum layaknya gadis bergigi gingsul yang tersenyum ramah. Keceriaan anak-anak tetangga kembali kulihat dengan bermain – main di lumpur yang ditinggalkan luapan air sungai itu. Aku sibuk memasukan piring kedalam lemari dan kutemukan kertas berisi foto hitam putih yang pinggirnya digerogoti rayap dan penuh dengan debu. Aku mengenal foto itu, kakekku dengan seorang wanita yang wajahnya pasi.Yang aku yakin saat itu, wanita itu bukan nenekku. Dibalik foto itu tertulis Miharja dan Sartini 23 Desember 1963. Pikiranku kembali membuka ingatan tentang kisah Sartini dan Miharja yang di ceritakan bapakku sebelum meninggal. Ya, aku mafhum, Dia kakekku, Miharja.
Purwokerto, 2013
[i] Siti Muhlisoh, Lahir di Purbalingga, 23 September 1994. Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto yang nyantri di Pesantren Kepenulisan PESMA AN NAJAH. Bergiat di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) OBSESI dan Sekolah KepenulisanSTAIN Press (SKSP). Bisa di hubungi di e-mail sitimuhlisoh@rocketmail.com.
[ii] Mukhammad Kurniawan. “Arboretum di Tepian Kanal Timur” Kompas
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H