SEJARAH PERKEMBANGAN UMAT ISLAM DI SULAWESI SELATAN
Nama : SUMIATI AMIN DAN FITRIANI
Program Studi Pendidikan Anak Usia Dini, Semester 1
SEJARAH PERKEMBANGAN UMAT ISLAM DI SULAWESI SELATAN
Periode sebelum masuknya Islam di Sulawesi Selatan dalam Lontara Latoa dikenal sebagai periode Galigo. Ketika itu masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya suku Bugis dan Makassar, memiliki kepercayaan terhadap dewa yang disebut Dewata Seuwae (Tuhan Yang Maha Esa).
Di Sulawesi Selatan, Islam memiliki pengaruh cukup kuat, hal itu dibuktikan dengan adanya kerajaan Islam, seperti Gowa-Tallo.
MASUKNYA ISLAM DI SULAWESI SELATAN
Kedatangan Islam di Sulawesi Selatan dibawa oleh tiga Ulama dari Minangkabau (Datu' TelluE), yaitu: Datuk Ribandang, Datuk Ditiro, dan Datuk Patimang.
Mereka datang ke Sulawesi Selatan pada abad ke-16 dan berhasil mengislamkan I Mallingkang Daeng Manyonri yang merupakan raja kerajaan Tallo.
I Mallingkang Daeng Manyonri mengubah namanya menjadi Sultan Abdullah Awwalul-Islam. setelah itu, Sultan Abdullah mengajak raja Gowa ke-14, I Manga’rangi, untuk menjadi seorang Muslim pada tahun 1605.
I Manga’rangi mengubah namanya menjadi Sultan Alauddin. Sejak saat itu, kerajaan Gowa berubah menjadi kerajaan Islam.
Corak perkembangan Islam selanjutnya diwarnai oleh situasi lokal dimana Islam itu berkembang.
SULAWESI SELATAN DALAM MASA PENJAJAHAN
Sejak zaman pemerintahan Raja Gowa ke-9, Karaeng Tumapa’risi’ Kallonna, banyak orang asing yang datang dan menetap di Sombaopu, ibukota Kerajaan Gowa. Pada abad ke-17 Sombaopu merupakan bandar dan pelabuhan yang teramai di Indonesia bagian timur sehingga mendapat perhatian dari orang-orang asing.
Orang-orang Eropa seperti Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris berusaha mencari perhubungan dan ingin bersahabat dengan Raja Gowa. Diantara orang-orang tersebut Belanda (VOC), ternyata ingin memonopoli perdagangan dan menguasai Kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa dengan keras menentang hak monopoli yang hendak dijalankan oleh VOC. Hal itu membuat hubungan antara Kerajaan Gowa dengan VOC makin lama makin tegang sampai akhirnya pecah dalam konflik terbuka pada peristiwa “Enkhuyzen” tahun 1615.
Setelah ditandatanganinya Perjanjian Bungaya pada tanggal 18 November 1667, dan jatuhnya Sombaopu maka Kerajaan Gowa secara politik telah jatuh ke dalam kekuasaan Belanda.
Awal abad ke-20, pengaruh Belanda semakin kuat sehingga tidak menyenangkan bagi raja-raja di Sulawesi Selatan. Hal itu memicu terjadinya peperangan antara raja-raja Bugis-Makassar dengan Belanda pada tahun 1904-1906 yang dimenangkan oleh Belanda.
Daerah-daerah bekas Kerajaan Bugis-Makassar lambat laun diberi peranan dalam urusan keuangan, pengadilan, dan kesejahteraan rakyat. Para raja dan pembesar zelfbestuur tetap mempunyai hak usaha atas tanah atau persawahan yang disebut tanah Arajang atau Kalompoang, yang pada masa lalu merupakan sumber pembiayaan hidup mereka. Disamping penghasilan tersebut, Belanda juga memberi mereka penghasilan bulanan yang ditetapkan dengan Surat Keputusan G.C Hindia Belanda (Mattulada, 1995:466).
Hal seperti itu berlangsung di Sulawesi Selatan hingga datangnya penjajah Jepang dan pecahnya perang dunia II. Pada masa pemerintahan Jepang, para Assistant Resident Belanda diganti oleh pejabat-pejabat Jepang yang disebut Ken-Kanrikan dan para controleur Belanda oleh Bunken Kanrikan Jepang.
Pendudukan Jepang selama hampir 4 tahun memberikan kesempatan kepada banyak orang Bugis-Makassar menduduki berbagai jabatan pemerintahan dan perusahaan umum di daerah-daerah sehingga menjadi pengalaman yang berguna dalam mengurusi administrasi pemerintahan dan perusahaan.
________
Terima kasih telah membaca, semoga tulisan sy selanjutnya semakin di perbaiki
Silahkan tunggu tulisan sy selanjutnya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H