Kebijakan Pemerintah Dirasa Belum Fokus dan Memprioritaskan Kualitas Pendidikan
Meskipun pemerintah Indonesia telah berupaya meningkatkan sistem pendidikan nasional, masih terdapat beberapa permasalahan yang menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah belum sepenuhnya fokus dan memprioritaskan kualitas pendidikan. Hal ini tercermin dari berbagai aspek, termasuk alihfungsi dan penyerapan dana pendidikan, kesejahteraan tenaga pendidik, serta perubahan kurikulum yang belum efektif dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Alihfungsi dan Penyerapan Dana Pendidikan
Salah satu masalah utama dalam sistem pendidikan Indonesia adalah alihfungsi dan penyerapan dana pendidikan yang belum optimal. Meskipun pemerintah telah mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD, masih terdapat ketimpangan dalam distribusi dan penggunaan dana tersebut. Anggaran pendidikan yang dikelola oleh Kemendikbud Ristek hanya 2,7% dari APBN atau sekitar 29 triliun rupiah [12]. Lebih lanjut, riset dan pendidikan tinggi hanya mendapat bagian sebesar 0,9% dari 2,7% dana yang dikelola Kemendikburistek [12].
Ketimpangan ini menunjukkan bahwa pemerataan akses pendidikan masih menjadi tantangan besar di Indonesia. Dana yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan fasilitas pendidikan dan kualitas pengajaran seringkali tidak terserap dengan baik atau dialihfungsikan untuk kepentingan lain. Hal ini mengakibatkan ketidakmerataan fasilitas pendidikan antara daerah perkotaan dan pedesaan, yang pada akhirnya berdampak pada kualitas pendidikan secara keseluruhan.
Tenaga Pendidik yang Tidak Sejahtera
Kesejahteraan tenaga pendidik merupakan faktor krusial dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak guru yang belum sejahtera, baik dari segi fasilitas sarana dan prasarana maupun upah yang sesuai dengan beban kerja mereka [13]. Kondisi ini terutama dialami oleh guru honorer dan mereka yang bertugas di daerah terpencil.
Gaji yang rendah dan sering terjadi penundaan pembayaran selama berbulan-bulan menjadi masalah serius bagi para guru honorer [14]. Bahkan pada tahun 2018, terdapat guru di Indonesia yang hanya digaji Rp. 200.000 per bulannya [14]. Situasi ini memaksa banyak guru untuk mencari pekerjaan tambahan, yang dapat mengganggu fokus mereka dalam mengajar dan meningkatkan kompetensi.
Meskipun pemerintah telah menjalankan program perekrutan Pegawai Pemerintahan dengan Perjanjian Kerja (PPPK) untuk meningkatkan kesejahteraan guru honorer, masih terdapat kendala dalam implementasinya. Kasus yang terjadi di Sumatera Utara, di mana 107 guru honorer menjadi korban gratifikasi dalam proses seleksi PPPK, menunjukkan bahwa masih ada celah dalam sistem yang dapat dimanfaatkan untuk tindakan koruptif [15].
Perubahan Kurikulum yang Selalu Gagal dalam Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia
Perubahan kurikulum yang sering terjadi di Indonesia belum berhasil meningkatkan kualitas sumber daya manusia secara signifikan. Sejak tahun 2004, Indonesia telah mengalami beberapa kali perubahan kurikulum, mulai dari Kurikulum Berbasis Kompetensi, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), hingga Kurikulum 2013 [16]. Meskipun setiap perubahan bertujuan untuk menyempurnakan kekurangan yang ada, implementasinya seringkali terhambat oleh berbagai faktor.