Namanya cukup singkat. Pri. Demikian dia biasa dipanggil. Prawakan tinggi dengan rambut yang dibiarkan panjang tergerai. Tubuhnya lumayan altetis, meskipun tidak seatletis bintang kenamaan Tom Cruise, Ricky Martin, Beckham atau sederet bintang seksi lainnya. Sifatnya yang energik, penuh percaya diri dan supel (bukan suka pelempuan lho.........) itulah yang menjadikan aku tertarik. Meskipun ada hal lain yang lebih menarik lagi, jenggot.Â
Ya, ia membiarkan jenggotnya tumbuh panjang. Waktu saya iseng menanyakan kenapa dibiarkannya tumbuh panjang. "Ya, biar keren tho........" jawabnya singkat dengan logat kulonan yang kental. "O.......biar kaya' artis beken yang albumnya sedang naik daun itu ya...", Kataku menimpali. Ia hanya meringis sambil berlalu.
Berbeda dengan Pri. Dakir, teman kosku waktu di Malang, juga memanjangkan jenggotnya. "Waduh...Mas, saya ndak sempat!" demikian katanya ketika suatu saat saya menanyakan perihal jenggotnya.Â
Barangkali memang bisa dimaklumi, Ia seorang seniman yang setiap hari mesti berkutat di kamarnya yang pengap hanya untuk menyelesaikan ordernya. Jangankan untuk nyukur jenggotnya, untuk mandi azha, kalau sudah ekstase mengerjakan tugas, rasanya sulit dilakoninya.
Sedangkan temanku Imam, mahasiswa di sebuah Perguruan Tinggi Negeri di Malang mempunyai jawaban lain saat aku tanya:"Saya kan mengikuti sunah Rasul. Itung-itung selain lagi up to date, khan sekalian ngamalkan sunah Rasul. Ya, setidaknya saat wudlu."Â
Aku salut juga pada jawaban Imam. Tampaknya ia masih ingat sekali dengan pelajaran yang diajarkan pak ustadz, Meskipun ia sudah terinfeksi "virus" kota ternyata masih nyantol juga pelajaran itu di otaknya. Ia masih bisa mengkombinasikan antara trend mode dengan basik teologi keagamaannya.
 * * *
Jawaban-jawaban berkenaan dengan jenggot di atas, barangkali, telah mewakili berbagai akumulasi jawaban yang ada dalam realitas sosial. Fenomena jengot memang telah menjadi realitas yang tidak dapat kita nafikkan di masyarakat. Kalau kita menyempatkan diri berjalan-jalan ke kampus-kampus, ke mall, ke alun-alun kota, maka pandangan kita tidak akan lepas dari fenomena ini.Â
Dulu, aku mengira bahwa tren jenggot ini sebagai pertanda adanya peningkatan kesadaran "spiritual" masyarakat yang sedang dilanda krisis figur, krisis kepemimpinan. Kerinduan mereka pada sosok paripurna mendorong mereka untuk kembali kepada basik fiqur ideal masyarakat, tokoh-tokoh legendaris dalam agama, nabi.
Mengingat Indonesia mayoritas Islam, maka mereka merujuknya pada Muhammad saw. Mereka mencoba kembali untuk membuka-buka kembali lembaran-lembaran kehidupannya, kepribadiannya, prilakunya, dan sebagainya, termasuk di dalamnya ajaran agar memelihara jenggot bagi laki-laki muslim.Â
Asumsi ini memang tidak sepenuhnya salah. Sebagaimana dikatakan Feurbach, agama memang tempat yang sangat indah untuk menaruh proyeksi-proyeksi dikala manusia sedang dilanda krisis.Â