Sejak 1945, 17 Agustus menjadi hari yang sakral bagi bangsa Indonesia. Tiap tahun ia dirayakan dengan semangat kemenangan dan kemerdekaan. Tapi pernahkah kita melihatnya secara kritis? Bila kita jeli terhadap sejarah kemerdekaan, kita akan segera menyadari bahwa tanggal 17 Agustus 1945 adalah sebuah perpaduan momentum yang unik yang didukung oleh anteseden-anteseden yang juga unik. Kita tahu bahwa di setiap jengkal wilayah Republik Indonesia terjadi perjuangan fisik melawan penjajah yang memakan banyak korban. Tapi jangan lupa bahwa perjuangan yang menentukan sebenarnya justru perjuangan politik para pejuang dalam memanfaatkan momen yang menguntungkan, prakondisi bagi terlaksananya Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah salah satu contohnya.
Proklamasi 17 Agustus 1945
Berawal dari ribut-ribut mengenai daerah jajahan antara Sekutu, Belanda dan Jepang. Sutan Syahrir yang sudah memulai pergerakan di bawah permukaan bersama sejumlah mahasiswa dan partisan muda lainnya menebak bahwa ribut-ribut di atas permukaan tidak mungkin dimenangkan oleh Jepang lantaran posisinya yang sedang dalam keadaan terdesak. Siasat Syahrir ketika itu adalah mempersiapkan kekuatan untuk merebut kekuasaan dari Jepang yang kebetulan sedang mendapat giliran menjajah Indonesia. Di saat yang sama Jepang menjanjikan kemerdekaan untuk bangsa Indonesia. Dari lokasi persembunyiannya Syahrir mengamati siaran-siaran radio internasional dari suatu tempat. Saat itu, saluran radio tanah air disegel Jepang agar tidak bisa menerima berita luar.
Syahrir lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat pada 5 Maret 1909. Syahrir dipercayai oleh Bung Karno menjadi Perdana Menteri pertama Republik Indonesia ketika usianya 36 tahun. Syahrir praktis menjadi Perdana Menteri termuda di dunia. Agaknya Bung Karno tahu benar siapa Sutan Syahrir ini dan bagaimana sepak terjangnya. Bung Karno dan Sutan Syahrir bak pemimpin dalam dua dimensi berbeda yang saling berhubungan. Keduanya saling membantu dalam mencapai kemerdekaan. Bung Karno tahu dirinya bukan apa-apa tanpa Syahrir. Gelombang revolusi yang digelorakan Bung Karno misalnya, haruslah ia dikendalikan dan orang yang memiliki siasat untuk perkara tersebut adalah Syahrir karena bilamana gelombang kekuatan tersebut tidak dibendung untuk diarahkan secara benar, maka energi itu justru berakibat destruktif. Sebagaimana pernyataan Bung Hatta bahwa revolusi mesti dikendalikan dan tak mungkin ia berjalan terlalu lama, revolusi yang mengguncang 'sendi' dan 'pasak' masyarakat bila tak dikendalikan maka akan merusak seluruh 'bangunan'. Sebaliknya Syahrir mengakui Bung Karno lah pemersatu rakyat Indonesia karena agitasinya yang menggelora.
Dimulai dari pengeboman atas kota Hiroshima tanggal 6 Agustus 1945 dan Nagasaki pada tanggal 9 Agustus 1945 oleh pasukan Amerika Serikat, semangat tentara Jepang di seluruh daerah jajahan menurun. Sementara itu dari tempat persembunyiannya, Syahrir mendengar kabar bahwa Jepang telah menyerah pada sekutu. Momen ini menurut Syahrir adalah kesempatan untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Langkah awal dilakukan golongan muda yang dipimpin Syahrir di bawah tanah dengan mendesak Bung Karno agar segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, namun golongan tua termasuk Soekarno dan M. Hatta tidak ingin tergesa-gesa karena menganggap proklamasi saat itu dapat berakibat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap. Konsultasi pun akan dilakukan golongan tua dalam rapat PPKI padahal golongan muda menentang adanya PPKI karena menganggap bahwa forum tersebut adalah bentukan Jepang sehingga akan memberikan kesan bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan 'pemberian' dari jepang.
Peristiwa Rengasdengklok pun terjadi. Saat dini hari tanggal 16 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta dibawa ke Rengasdengklok secara diam-diam oleh kaum pejuang muda. Tujuannya agar Soekarno dan Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Rapat PPKI oleh golongan tua pun dibatalkan karena mendapati Soekarno dan Hatta tidak ada. Di Rengasdengklok, mereka kembali meyakinkan kepada Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan mereka siap melawan Jepang apapun resikonya.
Sementara itu di Jakarta, terjadi perundingan antara golongan tua dan golongan muda. Golongan tua diwakili oleh Mr. Ahmad Soebarjo dan golongan muda diwakili oleh Wikana. Akhirnya Mr. Ahmad Soebarjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Soekarno dan Hatta pun dijemput kembali ke Jakarta. Malam harinya di rumah Laksamana Maeda, Soekarno, M. Hatta, Ahmad Soebardjo dan disaksikan oleh Soekarni, B.M. Diah, Sudiro (Mbah) dan Sayuti Melik menyusun teks proklamasi. Soekarni mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Pagi harinya, tepat jam 10 acara dimulai dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah Putih, yang telah dijahit oleh Ibu Fatmawati, dikibarkan, disusul dengan sambutan oleh Soewirjo, wakil walikota Jakarta saat itu dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor. Indonesia secara de jure pun menyatakan kemerdekaannya, tapi secara de facto Indonesia belum merdeka.
Proklamasi 30 Juni 1949
Pasca Proklamasi 17 Agustus 1945, Indonesia belum bisa dikatakan merdeka lantaran masih menerima ancaman dari penjajah. Diawali dengan pendaratan sekutu yang dibonceng NICA ke Indonesia, aksi-aksi perlawanan dari pejuang Indonesia tak terelakkan dalam mempertahankan kemerdekaan republik seperti Pertempuran Surabaya, Pertempuran Lima Hari di Semarang, Pertempuran Ambarawa, Pertempuran Medan Area, Bandung Lautan Api dan pertempuran lainnya di berbagai tempat di tanah air namun yang paling terkenal di telinga masyarakat adalah pertempuran 10 November di Surabaya. Banyak korban berguguran entah dari pihak pejuang republik atau penjajah.
Namun perjuangan eksistensial pasca proklamasi yang menentukan keberlanjutan eksistensi Pemerintah Republik Indonesia terjadi di Yogyakarta. Selama masa Pemerintahan RI di Yogyakarta, perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan memasuki tahap yang paling menentukan. Yogyakarta yang saat itu telah memiliki sistem pemerintahan yang rapi dan telah mendapat pengakuan dari Belanda menjadi satu-satunya pilihan aman untuk melangsungkan eksistensi republik yang masih bayi merah tidak berdaya ini dan memeliharanya dari serbuan penjajah. Sultan yang menjadi pusat kendali mutlak bagi segenap rakyat Yogyakarta pun tidak berani diotak-atik militer Belanda karena mendapat ultimatum dari Ratu Juliana yang tidak mengizinkan siapapun menyentuh Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Ini menjadi perhitungan sendiri bagi militer Belanda ketika ingin melakukan agresi ke Yogyakarta yang merupakan wilayah kekuasaan Sri Sultan. Lagipula, menurut Soekarno, Yogyakarta adalah daerah yang paling siap secara politik dan ekonomi untuk dijadikan ibukota.
Ibukota negara ibarat simbol, ketika ia terjajah maka seluruh wilayah negara tersebut secara resmi dinyatakan jatuh ke tangan penjajah. Saat ibukota Jakarta dinyatakan tidak aman tatkala pasukan Sekutu dan NICA datang, keadaan ibukota kacau balau. Syahrir sendiri pernah merasakan mobilnya diberondong peluru. Hampir tiap malam Soekarno berpindah tempat untuk tidur dan bahkan Soekarno sering tidur di kolong tempat tidur. Pemerintahan praktis tidak efektif. Tan Malaka sendiri menganjurkan agar pemerintahan Republik menyingkir dari Jakarta ke pedalaman. Tapi pedalaman mana yang bisa dikendalikan.