Allah mengabadikan Firman-Nya dalam rupa tulisan dan sebuah kitab. Dalam Islam tidak ada mu’jizat berupa pedang atau alat perang dalam bentuk apapun. Pena Allah yang telah bergerak menulisnya, sebagai Kalam Suci Sang Maha Mulia, Allah, Tuhan Seluruh Alam.
“Tulisan-tulisan-Nya” mengandungi fakta dan Konsep-Nya dalam Pengetahuan-Nya, menjadi pedoman berpikir umat Ulul al Bab.
Al Qur’an, merupakan mu’jizat terbesar dari seorang Nabi Agung Muhammad SAW. Dibandingkan dengan mu’jizat-mu’jizat lainnya, sepintas Al Qur’an terkesan dan seolah tidak ada harganya. Segenggam mushaf ini sejatinya dimuliakan, dikekalkan sebagai Mu’jizat Terbesar sepanjang zaman.
Coba, kita perhatikan betapa peperangan-peperangan besar pada zaman Nabi, dalam suasana berkecamuk seperti dalam Perang Badar, kemudian dalam perang-perang berikutnya, Mu’jizat Nabi Muhammad SAW hadir entah disadari oleh para sahabat atau tidak, dan juga pada saat mu’jizat itu datang membela Muhammad ketika orang-orang kafir “menantang” keaslian status “Rasulullah” yang melekat pada Muhammad. Mu’jizat menampakkan diri melumpuhkan pendirian dan keyakinan sesat mukafirun. Begitu hebatnya, saat Nabi Muhammad membelah bulan, dan lain-lainnya. Semua itu dengan kehendak Allah, hadir sebagai tanda kenabian Muhammad SAW.
Peperangan dalam sejarah pengembangan Islam memang benar terjadi, sebagai konsekuensi logis dari adanya persaingan dan perebutan pengaruh dari lawan-lawan penguasa Islam ketika itu. Tetapi, untuk dicatat, bahwa peperangan tersebut sebagai akibat dari provokasi dan tekanan dari musuh-musuh Islam, yang menginginkan Islam menjadi arang dan hangus dari muka bumi, yang tentunya ini tidak akan dibiarkan oleh para pejuang Islam. Perangpun dimulai dan terus menerus, melintasi gugusan abad demi abad. Sampai semuanya berhenti pada Perang Dunia II.
Kita menyaksikan berbagai peperangan meletus dalam perjalanan agama Islam, menghiasi cerita perjuangan tentara Islam melawan kaum kafir yang hendak memusnahkan agama Islam dari muka bumi ini. Ratusan, bahkan ribuan para syuhada gugur di medan juang, membela kemuliaan Al Qur’an, Kalam Allah.
Dan tanpa bermaksud merendahkan dan mengesampingkan perjuangan syuhada mempertahankan agama Islam agar tetap hidup dan ada di dunia ini, sebait kalimat dari seorang Ulama pada sekitar abad XIV Masehi, bernama Ibnu Qayyim Al Jauziyah (http://id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_Qayyim_Al-Jauziyyah ). Kalimat itu bukanlah hadits dari Nabi Muhammad SAW, akan tetapi maknanya begitu dalam dan futuristik, yaitu
"Setetes tinta dari penulis itu lebih mulia dibanding darah yang tercurah dari para syuhada".
Tentulah Ibnu Qayyim tidak bertujuan melemahkan dan meninabobokan umat Islam menjadi apatis dan skeptis dalam beragama Islam. Kalimat itu terlontar sekitar abad XIV, setelah dan sebelum berbagai perang besar generasi penerus Nabi Muhammad berlangsung. Makna yang terkandung begitu spiritulaistis dan mewakili generasi muslim sebenarnya yang moderat dan civilized. Dan memang semua Umat Islam sebenarnya moderat dan mengasihani semua umat manusia, dan tidak akan berperang jika tidak diprovokasi dan ditekan oleh pihak yang menamakan diri sebagai “lawan umat Islam”.
Oleh Beliau, setetes tinta dilambangkan sebagai puncak kemuliaan dan keagungan dibandingkan dengan darah yang tercurah dari badan para pejuang Islam yang syahid di medan Perang Suci. Artinya kedudukan seorang penulis yang mengabadikan tulisannya dalam menjunjung tinggi nama Allah dan Agama Islam, lebih tinggi dari kedudukan para syuhada.
Meninggalnya para syuhada, artinya meninggalnya generasi hebat, berkurangnya generasi qualified dari umat Islam. Jika perang terus menerus berlangsung, dan semuanya berperang menghunus senjata, bagaimana kondisi penerus dan generasi berikutnya, akankah ada yang bisa melanjutkan menyusun buku-buku perihal agama Islam? Tentunya akan sulit menemukannya.