IDENTITAS PENULIS
Nama : Muhibbuddin NPM : 11510044 Tempat lahir : Batang Tanggal lahir : 16 Oktober 1975 Alamat : RT.04 Rw.03 Dk.Kauman Desa Tersono Kec.Tersono Kab.Batang Jawa tengah. Ph.081325893091, 0857 277 277 14 www.suaramuhibbuddin.wordpress.com
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas selesainya tugas berupa artikel judul “Sikap Kita Terhadap Pertentangan Ilmu Intuitif Dan Ilmu Empiris Dan Status Nilai Dalam Ilmu”. Artikel ini penulis susun dalam rangka memenuhi salah satu sebagai tugas mata kuliah Filsafat Ilmu pada Program Pascasarjana Jurusan Magister Manajemen Pendidikan IKIP PGRI Semarang Tahun Akademik 2011/2012. Dengan segala penuh kesadaran, penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih penuh dengan banyak kekurangan dan kelemahan, sehingga demi perbaikan, penulis masih mengharapkan ada bimbingan, kritik, saran dan pengarahan, baik dari dosen pengampu maupun rekan-rekan seperjuangan. Dalam kesempatan ini, penulis sampaikan terima kasih kepada : 1. Bapak Prof.Dr.Abu Su'ud 2. Rekan-rekan seperjuangan Demikianlah, tak ada gading yang tak retak, saran dan kritik penulis harapkan. semoga makalah ini bisa memberikan manfaat bagi kita semua. Amien. Semarang, Oktober 2011 Penulis, Muhibbuddin NPM.11510044
BAGAIMANA MENGHADAPI PERTENTANGAN ILMU INTUITIF DAN ILMU SAINS?
Menurut Soejono Soemargono (1983) dalam Ilmu Filsafat Suatu Pengantar (Surajiyo, 2005:59), Pengetahuan meliputi pengetahuan non ilmiah dan pengetahuan ilmiah. Pengetahuan non ilmiah merupakan pengetahuan yang diperoleh dengan landasan bukan dari kaedah-kaedah keilmiahan yang diakui dunia sains, serta bersifat non empiris. Pengetahuan ini hidup dalam hati manusia yang mengetahui sesuatu tetapi didapatkan dari mimpi, firasat dan pemahaman manusia terhadap sesuatu obyek dalam pengalaman hidupnya, baik yang mengembang di masa lalunya maupun di masa akan datang. Pengetahuan tersebut muncul melalui instrumen indrawi, pengecapan lidah, pembauan dan perabaan kulit, sehingga pengetahuan ini bersifat subyektif, spekulatif, ekspresif dan aktif. Subyektif, sebab pengetahuan non ilmiah tidak dapat ditelusuri obyektivitasnya oleh orang lain setinggi apapun pendidikannya. Spekulatif, sebab pengetahuan ini didasarkan pada idea subyektif yang tidak jelas secara empiris. Ekspresif, sebab merupakan ungkapan apa yang ada dalam hati seseorang. Dikatakan aktif sebab pengetahuan ini umumnya selalu ada dan sulit untuk diubah, apalagi diluruskan oleh individu lain yang tidak terlibat dalam proses pemperolehan ilmu non ilmiah ini.
ILMU INTUITIF Termasuk dalam pengetahuan non ilmiah ini adalah pengetahuan intuitif, yaitu pengetahuan yang diperoleh dari “wangsit” atau ilham yang datang dari alam metafisik atau cenderung ghaib. Penerima pengetahuan ini tidak menjejaki dan menelusuri urutan “unsur pribadi ghaib” yang membawa berita dan terlibat dalam lahirnya obyek intuisi ini. Umumnya pengetahuan ini menjadi pedoman dan petunjuk tentang sesuatu yang akan terjadi di masa depan, misalnya tentang ramalan-ramalan akan adanya sesuatu dan akan terjadinya suatu peristiwa. Pengetahuan intuitif ini juga memiliki kategori dan ciri pengetahuan non ilmiah, di mana sifatnya subyektif, spekulatif, ekspresif dan aktif. Dalam http://www.belindch.wordpress.com disebutkan bahwa pengetahuan intuitif pada hakikatnya merupakan pengetahuan yang diperoleh lewat pengalaman langsung seseorang dan menghadirkan pengalaman serta pengetahuan yang lengkap bagi orang tersebut. Pengetahuan jenis ini bersifat subyektif, sebab hanya dialami oleh orang tersebut (Russell, 2010). Kartanegara (2005) dalam http://www.belindch.wordpress.com juga menyebutkan bahwa pengetahuan intuitif bersumber pada naluri/hati seseorang. Adanya batin dalam diri manusia menjadi sumber muncul dan hidup suburnya pengetahuan intuitif ini. Batin menyampaikannya secara langsung tanpa perantara apapun, baik dari proses internalisasi maupun aliran arus akal pikiran penerima pengetahuan tersebut, terlebih dari sentuhan indera. Pengetahun ini juga bisa untuk membentuk pikiran seseorang dalam kapasitasnya yang mampu menggerakkan seluruh alat tubuh, sehingga timbul gerakan dan perilaku ataupun tindakan sadar yang di luar dugaan dan seolah-seolah atas dasar kemauan tanpa pertimbangan. Kita bisa saksikan orang yang diliputi bisikan intuisi ini, berbicara dan berbuat di luar nalar dirinya dan apalagi orang lain. Walaupun seseorang yang memiliki pengetahuan intuitif ini sadar pada saat ia berbicara dan berbuat, tetapi datangnya pengetahuan ini berawal dari proses yang tidak disadarinya, sehingga terkesan tiba-tiba dan mengagetkan orang lain. Pengetahuan ini muncul sebagai hasil penghayatan, ekspresi dan individualitas seseorang, sehingga validitas pengetahuan ini sangat bersifat pribadi. Pengetahuan intuitif disusun dan diterima dengan kekuatan visi imaginatif dalam pengalaman pribadi seseorang (Kneller, 1971). Intuisi lahir tanpa adanya pemikiran dan pembelajaran, sehingga bentuknya juga individualis dan ekspresif, sejauh ekspresi tersebut bersifat menggubah berbagai kesan yang kita terima, melalui potensi imajinasi aktif (fantasia) ke dalam wujud berbagai kesatuan imaji maupun keberadaan keseluruhan secara esensial yang bersifat individual (Supangkat, 2006). Apa yang dihasilkan dari proses intuisi ini tidaklah selalu ditetapkan sebagai kebenaran dalam arti sebenar-benarnya. Maksudnya, jika seseorang memiliki intuisi tentang akan terjadinya atau akan adanya sesuatu tidak selalu menjadi kenyataan yang dapat disaksikan oleh orang banyak sehingga pengetahuan intuitif ini diakui secara empiris.
ILMU EMPIRIS Selain non ilmiah, salah satu bentuk ilmu adalah ilmu ilmiah. Menurut Surajiyo (2005:58), pengetahun ilmiah adalah segenap hasil pemahaman manusia yang diperoleh dengan menggunakan metode-metode ilmiah. Prosedural ilmiah ini menentukan dalam kapasitas dan validitas pengetahuan tersebut. Metode ilmiah ini menghasilkan ilmu sains atau bisa disebut sebagai ilmu empiris, sebab melalui proses empiris lahiriah. Urutan-urutan yang harus dilalui, setahap demi setahap, bermula dari pengamatan, memunculkan hipotesis dan setelah dilakukan pembuktian hipotesis berulangkali, diperoleh sebuah hasil akhir dalam bentuk pemahaman dan pengetahuan tertentu dinamakan metode ilmiah. Proses ilmiah tersebut sistematis dan mendasarkan pada wujud-wujud fisik yang nyata dan lahiriah. Hasil pengetahuan melalui prosedur metode ilmiah berbentuk teori. Dalam perjalanan sejarah manusia, dari sekian banyak teori yang diakui kebenarannya di suatu zaman, sebenarnya banyak juga teori yang gugur oleh teori yang lebih akhir dan terbaru. Dengan demikian, ilmu yang didapat dari proses empiris ini tidaklah disebut sebagai sebuah kebenaran dalam arti sebenar-benarnya, tetapi hanya mendapatkan status “kebenaran dari sudut pandang metode ilmiah”, yang hasil pengamatan bisa menunjukkan konklusi berbeda dari pengamatan dan penelitian sebelumnya.
TITIK TEMU ILMU INTUITIF DAN EMPIRIS Memperhatikan beberapa pendapat dan pengertian antara ilmu intuitif dan ilmu sains atau ilmu empiris di atas, maka kita dapat memperoleh sebuah titik yang mempertemukan keduanya, meskipun juga tidak mungkin dipertemukan oleh pelakunya. Masing-masing pelaku (baca:ilmuwan) dalam kedua jenis ilmu tersebut berpegang teguh pada dasar masing-masing yang dianggap sebagai sebuah “kebenaran”. Lebih jauh kita bisa mengungkap bahwa selain pada “obyek” pengetahuannya yang masing-masing bisa empiris bisa juga non-empiris, yang membedakan ilmu intuitif dan ilmu sains/empiris sebenarnya pada prosedur perolehan hasil pemahaman, tidak pada sisi kebenaran hasil pemahamannya, Yang satu menggunakan metode ilmiah yang bisa dilakukan oleh ilmuwan lain, yang satunya tidak melalui metode ilmiah tetapi berdasarkan pertimbangan subyektif yang sepihak yang tidak dapat diamati oleh orang lain. Bahkan jika kita perhatikan lebih seksama, maka apa yang dihasilkan dari proses intuisi sesungguhnya “sebuah dugaan” yang dalam metode ilmiah dinamakan Hipotesis, yaitu kumpulan dugaan dan persepsi terhadap hasil pengamatan tentang obyek tertentu. Dugaan atau isi intuisi manusia bisa benar-benar ada dan terjadi atau sebaliknya, hipotesis dalam metode ilmiah juga bisa benar-benar ada dan terjadi atau sebaliknya. Apabila menjadi kenyataan, maka intuisi tersebut disimpulkan sebagai “intuisi yang tepat dan benar”, dan dalam metode ilmiah apabila ada dan terjadi sesuai hipotesis, maka disimpulkan bahwa “hipotesis tersebut tepat dan benar”. Disebabkan intuisi ini subyektif, maka bisa dilakukan oleh semua orang tanpa kapasitas pendidikan tertentu dan tanpa perlu ada proses ilmiah.
TITIK PEMISAH ILMU INTUITIF DAN EMPIRIS Yang akan menjadi titik pemisah dari keduanya selama-lamanya adalah jika intuisi tersebut membicarakan tentang sesuatu yang berwujud metafisik dan ghaib, yang unsur hipotesis dalam keilmiahan tidak akan dan tidak mungkin diwujudkan oleh ilmuwan manapun. Sesuatu yang ghaib dan metafisik tidak dapat dikaji secara metode ilmiah, sebab syarat metode ilmiah adalah adanya dukungan bukti-bukti fisik dalam pengamatannya, yang dalam hukum metafisik dan ghaib, bukti ini tidak ada, atau mungkin ada tetapi sifatnya personal. Dalam kata lain, jika yang dikaji adalah obyek yang bentuknya metafisik dan ghaib, maka ilmu intuitif dan ilmu empiris tidak akan bertemu sampai kapanpun, artinya tetap akan ada pertentangan antara ilmu intuitif dan ilmu empiris. Akan tetapi, jika bentuknya benda atau kejadian fisik, maka bisa bertemu pada titik hipotesis, selama ada niat atau semangat untuk mengakui keberadaan pengamatan melalui metode ilmiah ini. Kenyataanya, walaupun kedua ilmu ini bisa bertemu dalam obyek pengamatan tertentu, masing-masing “ilmuwan” dari ilmu intuitif dan ilmu empiris tidak saling menerima kelemahan metode yang digunakan, sehingga timbul pertentangan yang tidak ada ujungnya. Menurut Surajiyo (2010:62-63), ada lima ciri-ciri pengetahuan ilmiah, yaitu 1. Empiris. Terhasil dari pengamatan percobaan 2. Sistematis. Berbagai data saling berhubungan dan ketergantungan yang teratur 3. Obyektif. Bebas prasangka dan kesukaan pribadi. 4. Analitis. Adanya pembedaan pokok penelitian 5. Verifikatif. Dapat diperiksa kebenarannya oleh orang lain.
BAGAIMANA SIKAP KITA TERHADAP “PERTENTANGAN” ILMU INTUITIF DAN ILMU EMPIRIS?