Perubahan sosial yang semakin masif terjadi saat ini, berimbas pada kompleksnya permasalahan yang lahir. Keadaan tersebut kemudian secara langsung maupun tidak langsung berdampak pada tatanan sosial yang ada salah satunya hukum. Sebagai sistem norma yang berlaku, jika dihadapkan pada perubahan kehidupan sosial posisi hukum akan menempati satu dari dua fungsinya yakni sebagai sarana untuk mengontrol masyarakat (social control) dan sebagai sarana untuk mengubah masyarakat (social engineering). Oleh karena itu, agar tidak terjadi kesenjangan antara kemajuan peradaban dengan norma hukum, maka hukum harus mampu untuk berkembang secara lebih maksimal, progresif dan dinamis.
Indonesia sebagai negara hukum, tentu juga tidak terlepas dari dinamika perubahan sosial. Persoalan terkait hukum khususnya bidang keagamaan, sangat penting keberadaanya mengingat mayoritas penduduk di negara ini yang beragama islam. Tetapi sayangnya, belum semua aturan termaktub dalam undang-undang positif negara, keadaan ini terkadang mengakibatkan lamanya pengambilan keputusan oleh hakim terhadap suatu persengketaan yang terjadi. Di lain sisi, peraturan yang ada di perundang-undangan jelas tidak mungkin bisa mengatur secara lengkap dan detail semua tindak-tanduk yang terjadi di masyarakat. Maka dari itu, kondisi seperti ini harusnya dapat mendorong adanya eksistensi pembaruan hukum khusunya hukum islam karena tuntutan sosial yang terjadi. Aksentuasi terhadap pembaruan hukum tersebut sangat berguna dalam rangka menjawab permasalahan kompleks yang lahir seiring dengan perkembangan zaman.
Kebutuhan yang besar masyarakat terhadap hukum islam bisa menjadi alasan kuat untuk melakukan pembaruan. Eko Setiawan, dalam penelitiannya yang berjudul "Dinamika Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Indonesia" menjelaskan bahwa, pembaruan hukum Islam (Islamic of Law) bisa dilakukan dengan cara ijtihad. Cara tersebut merupakan langkah dalam pengembangan hukum Islam, untuk menyelesaikan masalah baru yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan mempergunakan akal pikiran atau ra'yu. Penggunaan ra'yu ini tentu harus dilakukan oleh orang (hakim) yang yang berkompeten, agar kebenaran ketika memutuskan hukum/hukuman terhadap suatu perkara baru dapat secara tepat diberikan. Jika melihat dari parameter yang ideal, kedudukan hakim bisa dikatakan sama derajatnya dengan seorang mujtahid atau mufti, karena mereka sama-sama menetapkan dan menegakkan hukum Islam yang dapat digunakan sebagai rujukan bagi hakim lain dalam menetapkan putusan terhadap  kasus atau perkara yang sama.
Putusan yang telah ditetapkan hakim terhadap suatu permasalahan yang belum ada hukumnya, dalam khasanah hukum positif dikenal dengan nama yurisprudensi. Soebekti mendefinisikan yurisprudensi sebagai putusan-putusan yang berasal dari hakim atau badan peradilan legal dan putusan itu dibenarkan oleh Mahkamah Agung (MA) selaku pengadilan kasasi. Selain itu, berdasarkan sistem hukum civil law yurisprudensi diartikan sebagai putusan-putusan hakim terdahulu yang telah berkekuatan hukum tetap dan diikuti oleh para hakim atau badan peradilan lain dalam memutus suatu perkara atau kasus yang sama.
Hemat penulis, penggunaan yurisprudensi terhadap suatu permasalahan baru dan belum ada hukumnya merupakan suatu terobosan dalam rangka mengisi kekosongan hukum dan untuk memberikan jaminan kepastian hukum kepada masyarakat. Secara normatif, penggunaaan yurisprudensi sebagai sumber hukum di Indonesia ini legal berdasarkan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Jo. Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang penjelasan bahwa "Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat". Pasal tersebut mengindikasikan bahwa, hakim dalam rangka menjalankan kewenangan absolutnya boleh menggunakan sumber legalitas perundang-undangan berikut dengan tafsirannya dan sumber lain yang berupa nilai-nilai hukum yang dipatuhi oleh masyarakat. Selain itu, undang-undang tersebut semakin menegaskan tugas dan kewenangan hakim tidak hanya sekedar praktisi yang menerapkan undang-undang, melainkan juga pembentuk hukum (judge made law).
Ahmad Rafiq menyatakan, pembaruan hukum Islam di Indonesia merupakan suatu tuntutan yang tidak bisa ditawar-tawar mengingat perkembangan sains dan teknologi yang berdampak pada banyak hal menimbulkan kesenjangan antara hukum Islam dengan kehidupan, padahal hukum Islam adalah hukum Allah dan hukum itu sendiri adalah untuk manusia. (Rofiq, t.t: 31). Selain itu, jika kita hanya berkutat pada hukum perundang-undangan yang ada akan terjadi distorsi hukum karena tidak semua kasus bisa diselesaikan menggunakan undang-undang positif.
Dengan demikian, penggunaan yurisprudensi sebagai upaya pembaruan hukum islam dan dalam rangka memutus perkara yang belum ada hukumnya sangat efektif, karena jika melakukan pembaruan hukum Islam dengan mengandalkan jalur legislasi membutuhkan waktu yang cukup lama, sementara kebutuhan hukum di masyarakat sudah cukup mendesak. Oleh karena itu, hadirnya yurispudensi sebagai sumber hukum yang sah di Indonesia merupakan langkah nyata untuk memperbaharui hukum islam secara legal dan diakui negara. Selain itu, penggunaan yurisprudensi juga mempunyai urgensi sebagai instrument untuk mengontrol masyarakat (social control) sekaligus demi terciptanya keadaan madani hukum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H