Peran mahasiswa sebagai agen perubahan sosial yang bergerak dari akar rumput menjadi penanda gerakan mahasiswa tahun 80-an yang tidak dilakukan oleh gerakan mahasiswa sebelumnya. Ini terlihat dari kemunculan organisasi-organisasi gerakan mahasiswa baik yang sudah terlembaga dengan baik maupun yang bersifat sporadis serta kasuistik. Namun, yang terpenting adalah gerakan sosial itu mengemban misi tertentu, yakni perubahan sosial di berbagai bidang. Dengan mengintegrasikan elemen rakyat tak jarang mereka justru menjadi pionir bagi perubahan yang bersifat radikal dan fundamental.
Sejumlah ilmuan politik telah memprediksi bahwa setelah Perang Dunia II beberapa negara bekas jajahan akan menjalankan praktik demokratisasi. Prediksi itu terbukti dengan diselenggarakannya pemilihan secara demokratis yang pertama di Indonesia pada tahun 1955, 10 tahun sejak kemerdekaan Indonesia dan 6 tahun sejak pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh negara-negara lain pada tahun 1949. Pemilu pertama kali diadakan di Indonesia pada 29 September 1955 yang merupakan langkah pertama untuk memilih anggota DPR. Dari gerakan sosial yang dipelopori para pemuda terdidik inilah yang melahirkan pemikiran guna memperjuangkan kemerdekaan dan membangun sistem negara yang demokratis.
ALDERA, singkatan dari Aliansi Demokrasi Rakyat, merupakan salah satu organisasi gerakan kaum muda yang anti-otoritarian yang memiliki peranan penting dalam gerakan prodemokrasi yang melawan rezim Orde Baru pada awal tahun 1990-an. Penggunaan kata "Pemokrasi Rakyat" dalam nama organisasi ini memberi kesan bahwa wadah ini memiliki agenda politik progresif. Dalam gerakan prodemokrasi, penggunaan kata "Rakyat" di tengah rezim otoritarian memberikan pemahaman yang jelas dalam membedakan perjuangan kepentingan rakyat dengan elit kekuasaan. ALDERA dengan sengaja berada dalam faksi politik yang berada di pihak rakyat.
Sejak kemunculannya pada awal 1993, ALDERA menarik perhatian publik lewat sebuah aksi yang menuntut Partai Demokrasi Indonesia (PDI) agar tidak mencalonkan kembali Soeharto sebagai presiden. Meskipun sejarah mencatat PDI, yang waktu itu dalam kendali politik Orde Baru, tetap saja kembali mencalonkan Soeharto menjadi presiden, dan tak acuh terhadap berbagai kritik, ALDERA telah melakukan hal berani pada masanya.
Keberanian memang menjadi hal yang langka pada tahun 1990-an. Sejak kampus dibungkam oleh kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK/BKK) pada tahun 1978, mahasiswa Indonesia seperti ayam jago tanpa taji. Keberhasilannya sebagai driving forces dalam menjatuhkan Soekarno pada tahun 1966, hanya tinggal sebuah mitos atau dongeng belaka. Bersamaan dengan kebijakan depolitisasi kampus, yang merupakan bagian dari rencana Orde Baru untuk menciptakan floating mass atau massa mengambang, mahasiswa pasca-1966 harus berjuang keras untuk mendapatkan otoritas politiknya sebagai juru bicara rakyat bagi Indonesia yang sedang berganti arah. Negeri yang dulu termasuk new emerging forces yang anti-imperalisme dan kapitalisme, sekarang telah siap membuka dirinya kepada pasar kapitalisme global.
Dalam kondisi seperti di atas, gerakan mahasiswa di awal 90an mencari bentuk baru. Warisan angkatan sebelumnya, terutama dari gerakan mahasiswa generasi '70-an dan '80-an yang "terusir" dari kampus akibat NKK/BKK, adalah pembentukan lingkaran-lingkaran studi serta aksi advokasi rakyat. Pembelaan mahasiswa atas kasus penggusuran tanah di Pulau Jawa, mulai kasus Kedung Ombo, Cilacap, Badega, hingga Blangguan, menjadi tren baru pada masa itu. Suatu pola baru bertumbuh, mahasiswa bermain di luar kampus sebagai extraparlementer, bertemu dengan rakyat, dan belajar dari mereka yang terpinggirkan.
Dalam gerakan mahasiswa pada tahun 1990-an, kata "Rakyat" muncul kembali sebagai respons terhadap gaya politik yang ada di masa Orde Baru. Pada masa itu, Orde Baru hanya memandang rakyat sebagai "Kawula" yang harus tunduk pada kekuasaan tanpa memiliki kedaulatan. Orde Baru dikenal sebagai rezim yang sangat kuat dalam memadamkan suara kritis, mengontrol kehidupan sosial dan politik dengan ketat, mengabaikan hak asasi manusia, dan sebagainya. Rezim ini juga fokus pada pembangunan ekonomi dengan pendekatan yang dominan militeris.
Dalam menghadapi kekuasaan yang brutal, gerakan mahasiswa pada tahun 1990-an semakin mendekat ke arah politik kerakyatan. Gerakan ini memunculkan berbagai bentuk organisasi seperti komite aksi di kampus, forum solidaritas yang mulai terlibat dalam isu-isu kerakyatan, forum komunikasi antarkampus dan antardaerah serta pembentukan organisasi yang lebih kuat dan berspektrum nasional seperti ALDERA dan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Gerakan mahasiswa Indonesia saat itu berhasil mempermatangkan apa yang telah dirintis oleh generasi sebelumnya sambil meruntuhkan mitos elitisme gerakan mahasiswa ketika menjatuhkan Soekarno atau dikenal dengan Angkatan 1966.
Di tengah sistem ini, gerakan mahasiswa tumbuh sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh penguasa. Mahasiswa menjadi suara para rakyat yang teraniaya, mereka memperjuangkan hak-hak dasar kemanusiaan seperti kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat, dan keadilan sosial.
Gerakan mahasiswa pada era 1990-an membawa semangat baru dalam perjuangan demokrasi di Indonesia. Mereka tidak lagi takut menyuarakan kritik terhadap pemerintah, bahkan mampu mengorganisir demonstrasi besar-besaran sebagai bentuk perlawanan damai. Gerakan mahasiswa ini juga berhasil menggerakkan kekuatan rakyat yang lain, termasuk buruh, petani, dan masyarakat sipil lainnya.
Salah satu momen paling bersejarah dalam gerakan mahasiswa 1990-an adalah krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1997. Krisis ini mengguncang fondasi ekonomi negara dan memperburuk ketimpangan sosial. Mahasiswa tidak tinggal diam melihat dampak buruk krisis ini terhadap rakyat kecil. Mereka mengorganisir demonstrasi besar-besaran menuntut reformasi ekonomi dan politik.