Makassar,Kompasiana - Perhatian masyarakat mulai tertuju kepada isu kesehatan mental sebagai salah satu kondisi penunjang kondisi sehat yang sempurna. Sebelumnya media sosial menjadi tempat yang ramai diskusi kesehatan mental, awalnya menimbulkan pro dan kontra. Melalui media sosial, para pengguna merasa bahwa generasi Z lebih lemah dibandingkan angkatan usia sebelumnya.
Asumsi yang muncul di media sosial seperti membandingkan kondisi mental antar angkatan umur umumnya disebabkan oleh konten edukasi dan keluhan perihal kesehatan mental meningkat di media sosial semenjak kondisi pandemi di tahun 2019-2020. Netizen yang merasa lahir di angktan umur baby boomers dan sebelum angkatan gen-z merasa kesehatan mental adalah sesuatu yang baru karena mereka menghadapi permasalahan yang lebih berat dibandingkan gen-z.
Melalui fenomena ini banyak kejadian yang disayangkan, kesehatan mental yang seharunya menjadi bahan edukasi di media sosial justru menjadi bahan konten. Figur yang memiliki gangguan mental di media sosial justru banyak dijadikan kiblat acuan, membuat pengikut figur teserbut mencocokan dengan gejala yang dirasakan dan berujung pada self diagnosis.
Menurut kementrian kesehatan, self diagnosis adalah peristiwa mendiagnosis diri sendiri terhadap suatu penyakit tapi tidak berdasarkan pemeriksaaan dan diagnosis tenaga medis atau ahli kesehatan. Netizen yang terpapar konten media sosial yang mengarah pada penyakit mental membuat perasaan menjadi tidak nyaman dan merasakan peristiwa pada konten. Seyogyanya merasa peduli kepada diri sendiri dan tidak menolak atas apa yang dirasakan adalah hal yang baik. Tetapi self diagnosis adalah kondisi yang berbeda, hal ini bukanlah bentuk kecintaan diri melainkan kurangnya literasi bahwa diagnosis pada diri sendiri tidak boleh dilakukan. Presepsi yang dibangun oleh netizen tidak selamanya dapat dibenarkan.
Persepsi yang sering muncul sebagai berikut:
- Perasaan yang sedih dan insecure, biasanya mereka menganggap sedang menderita bipolar karena perasaan yang tidak stabil.
- Melihat seseorang yang terlalu percaya diri, menganggap bahwa orang tersebut terkena NPD (Narsistic personality disorder)
- Merasa terlalu teratur dan detil terhadap sesuatu, klaim bahwa menderita OCD
- Merasa tidak nyaman dengan perasaan di masa lalu, kemudian diartikan sebagai PTSD dan Trauma berat.
Kejadian di atas seringkali dijumpai di kolom komentar konten, misalnya komen seperti “kak saya juga bipolar karena sering mood tidak stabil” balasan komentar yang muncul justru membenarkan dan kadang ada beberapa yang mendukung dengan kalimat pengakuan hampir sama, jarang sekali ditemui komentar yang mengarah pada edukasi untuk tidak melakukan self diagnosis.
Dikutip dari website kementrian Kesehatan, penyebab seseorang melakukan self diagnosis bisa sangat beragam, seperti : Mengikuti trend, karena paparan informasi yang tidak seimbang dan menyebabkan kebingungan dan takut untuk memeriksakan diri di media sosial.
Memperhatikan konten yang viral di aplikasi video singkat akhir akhir ini dimana terjadi perdebatan anatara pemuda yang berkuliah dan tidak berkuliah. Terdapat perdebatan yang menarik saat seorang pemilik konten membagikan video dengan narasi “Kalau kamu depresi ujung ujungnya butuh psikologi, jadi kuliah itu pentng” kemudian tim kontra terhadap kuliah ramai di kolom komentra dengan komentar sebagai berikut “Ga perlu kok, sekarang di google ada halodoc dan informasi gratis daripada ke psikolog” kejadian ini menganggambarkan kejadian sebagaian pengguna media sosial merasa bahwa kita boleh melakukan diagnosis pada diri sendiri.
Self Diagnosis tidak permah menimbulkan dampak yang positif, dampak yang ditimbulkan semuanya mengarah pada kejadian negatif. Salah satunya adalah, Seseorang bisa mengidap penyakit yang parah tetapi melalui diagnosis diri sendiri akhirnya menyimpulkan bahwa tidak perlu ke tenaga ahli, selanjutnya perasaan yang ketakutan berlebih disebabkan oleh informasi yang diterima dan yang paling parah adalah kesalahan diagnosis, Seseorang yang fanatik bisa saja mengkonsumsi obat tanpa saran dan resep dokter.
Sebagai pengguna media sosial yang bijak, sangat tidak diperbolehkan untuk menggunakan media sosial sebagai acuan self diagnosis. Pada saat merasakan gejala yang sesuai dengan konten atau informasi yang dibaca sebaiknya komunikasikan dengan dokter atau tenaga ahli yang sesuai dengan bidangnya. Hindari melakukan diagnosis kepada diri sendiri. Kemudian hindari melakukan konsultasi kepada seseorang hanya karena viral atau populer dengan isu kesehatan mental tetapi tidak pernah menempuh pendidikan formal pada bidang yang sesuai. Pastikan melakukan pemeriksaan kepada dokter, psikiater atau psikolog ahli.