Tulisan ini tidak akan membahas siapa yang paling bahagia dan siapa yang paling kecewa paska Pilkada Jakarta 2017 usai. Semua ekspresi kebahagiaan dan kekecewaan sudah dipertontonkan di layar kaca dan media sosial.
Namun tahukah Anda bahwa orang yang paling ‘galau’ paska Pilkada Jakarta 2017 adalah Hakim sidang kasus Ahok. Bagaimana tidak, hakim harus memutuskan vonis atas sebuah perkara yang sarat dengan kepentingan politik dan tekanan masa.
Hakim kasus Ahok bagai dipaksa makan buah simalakama. Kalau dimakan mati ayah, jika tak dimakan mati ibu. Jika harus membuat vonis bersalah dan menjatuhkan hukuman, bisa jadi bertentangan dengan hati nurani, logika hukum dan konstitusi kita. Sebagaimana pernyataan yang dikeluarkan oleh LBH Jakarta atas kasus Ahok, diantaranya: Â
- DPR RI dan Pemerintah RI masih belum menaati rekomendasi dari putusan MK dalam uji materi (judicial review) Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (PNPS 65) yang menjadi dasar lahirnya Pasal 156a tentang penodaan agama di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam putusannya, MK menyatakan sependapat bahwa terdapat permasalahan dalam UU tersebut dan perlu adanya revisi terhadap UU Penodaan Agama.Â
- Pernyataan Ahok di Kepulauan Seribu tidak termasuk dalam tafsir agama. Ahok justeru mengkritik subyek hukum (orang) dan para pihak yang menggunakan Ayat Al Quran untuk menipu publik dalam kegiatan politik.
- Pernyataan Ahok tersebut tidak memenuhi itikad buruk atau mens reayang disyaratkan harus dibuktikan dalam pemenuhan unsur-unsur Pasal 156a KUHP.
- Pernyataan Ahok tersebut dilindungi konstitusi sebagai bentuk kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dijamin oleh Pasal 28E UUD 1945, UU Nomor 9 Tahun 1998, Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
- Kriminalisasi menggunakan pasal penodaan agama justru meruntuhkan tatanan penegakan hukum, demokrasi dan kebhinnekaan di Indonesia, serta wujud nyata dari peradilan sesat. Â
Sementara jika memutuskan vonis bebas bagi Ahok, maka ada kekhawatiran munculnya reaksi publik dan aksi masa. Beranikah Hakim menanggung sial jika harus membuat keputusan kontroversial?
Kegalauan Hakim kasus Ahok sebenarnya juga kegalauan Anies Baswedan. Bagaimana tidak, Pilkada Jakarta 2017 adalah Pilkada paling ‘brutal’ sepanjang sejarah Indonesia. Melebihi Pemilu 1955 dan 1977 dalam hal politisasi dan provokasi SARA.
Jika Ahok divonis ‘bebas’, maka tuduhan ‘penistaan agama’ tak terbukti secara legal. Hal ini menguatkan fakta bahwa kemenangan Anies berkat politisasi dan provokasi isu SARA. Kemenganan Anies bisa dianggap cacat moral dalam sejarah politik Indonesia modern.
Sementara kalau divonis ‘bersalah’, jauh di lubuk hati yang paling dalam, Anies yang terkenal santun dan lemah lembut budi bahasanya itu pasti akan tertekan batinnya. Mungkin bibirnya tetap bisa tersenyum bersahaja, tapi hatinya takkan sanggup berdusta. Menurut Anda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H