Pepatah lama “guru kencing berdiri, murid kencing berlari” selalu layak dan pantas untuk diperbincangkan kembali terkait fenomena perdebatan hukuman fisik di sekolah yang berujung pada pemidanaan seorang guru yang mencubit muridnya. Supaya lebih update, mungkin pepatah itu bisa kita upgrade ke versi terbaru menjadi “guru bebas mencubit, murid balas menyambit”.
Sebelum membahas perihal corporal punishment atau hukuman fisik, saya perlu mengemukakan sikap terlebih dahulu atas kasus pemidanaan guru yang mencubit muridnya. Saya tidak setuju penerapan hukuman fisik atau psikis, apapun bentuknya. Tidak ada kompromi. Namun, saya juga merekomendasikan upaya perdamaian antara guru dan orang tua murid. Sekolah dan Komite Sekolah harus mengambil peran, jangan diam saja. Jangan pula melakukan pembelaan atau menunjukkan keberpihakan kepada salah satu dari kedua belah pihak yang sedang berkonflik.
Hukuman fisik, apapun bentuknya harus disingkirkan dari metode pembelajaran dimanapun kita menjadi guru, pelatih, fasilitator atau apapun istilah padanan lainnya. Hukuman fisik, hanya cocok diterapkan untuk polisi dan tentara. Cukup , hanya polisi dan tentara saja yang memilih dan memiliki cara pendisiplinan seperti itu. Institusi pendidikan harus melakukan jihad untuk menghentikan hukuman fisik di sekolah. Hukuman fisik mungkin efektif untuk pendisiplinan dalam jangka pendek, tapi tidak untuk jangka panjang. Kita lihat saja, institusi mana yang selama ini terbukti paling banyak melakukan kekerasan dan korupsi? Anda pasti tahu persis jawabannya!
Selain itu, sekolah (baik yang umum atau berbasis agama) yang menerapkan hukuman fisik tidak punya dasar teori dan argumentasi sama sekali.
Hukuman fisik hanya praktek turun temurun dan erat kaitannya dengan karakter guru. Karakter guru sangat dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman yang bersangkutan. Guru yang melakukan hukuman fisik kepada muridnya, bisa dipastikan mempunyai pengetahuan yang terbatas tentang metode pembelajaran dan mungkin pernah menjadi korban perlakuan kekerasan di rumah atau sekolah, atau mungkin keduanya. Jadi, hukuman fisik yang dilakukan oleh guru kepada murid adalah hasil reproduksi kekerasan dari pengalaman guru saat menjadi murid/anak.
Akar Kekerasan
Kekerasan terjadi karena ada konflik antara dua orang atau lebih. Kalau kekerasan hanya melibatkan satu orang, kita sering menyebutnya sebagai konflik batin, dan maaf, kita tidak akan membahasnya disini.
Konflik timbul karena ada ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan antara satu pihak dengan pihak lainnya. Ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan ini yang kemudian mendorong adanya aksi dan reaksi. Aksi dan reaksi ini akan sangat beragam pola dan bentuknya. Dari mulai aksi dan reaksi batin, lisan, tulisan sampai reaksi fisik. Namun sayangnya, aksi dan reaksi yang paling populer di masyarakat (dan juga sekolah tentunya) adalah lisan dan fisik. Maka tidak heran, jika di sekolah kemudian populer istilah “guru cerewet” atau “guru killer”. Meskipun dari sekian banyak guru, hanya satu atau dua orang saja yang berhakkewajiban menyandang gelar tersebut. Sebagian besar sisanya, adalah guru-guru dengan gelar-gelar yang baik-baik.
Aksi dan reaksi ini dipengaruhi oleh kekuasaan (power) dan otoritas (authority). Jika kebetulan lawan konflik kita adalah orang yang lemah, maka kita cenderung melakukan serangan lisan dan fisik. Sementara kalau lawan konflik kita orang yang kuat, maka kecenderungannya kita hanya bisa membatin atau paling tidak membuat tulisan. Mungkin, update status atau unggah kasus di media sosial adalah contoh yang paling pas.
Apakah Negara ini mengenal hukuman fisik. Ya, tentu. Negara kita menerapkan hukuman kurungan, hukuman mati (ditembak) dan terakhir yang bikin heboh yakni hukuman tambahan bagi pelaku kejahatan seksual berupa kebiri kimiawi dan pemasangan chip. Apakah Negara kita mengatur hukuman fisik di sekolah? Jawabnya tentu tidak! Tak ada satu pun klausul hukum yang mengatur pelaksanaan hukuman fisik di sekolah. Hukuman fisik yang ada saat ini tidak punya dasar hukum sama sekali. Dan tak ada satu sekolah pun yang berani mengeluarkan kebijakan tentang hukum fisik tersebut.
Coba analisa, alasan dan argumen yang dikemukakan oleh pelaku hukuman fisik atau para pendukung hukuman fisik biasanya seragam, yakni perbandingan dengan masa lalu. Seperti yang bisa kita lihat di media sosial, banyak yang mengatakan “Anak sekarang lebay, dicubit dikit lapor orang tua, trus orang tua lapor polisi. Padahal dahulu, saya kalau dipukul guru karena ga hapal butir-butir Pancasila, trus lapor orang tua, malah kena tambahan pukulan dari orang tua”. Atau ungkapan lain “Kalau saja orang tua saya tidak mendidik saya dengan keras, maka saya tidak akan berhasil seperti sekarang ini!”.