Jumat sebelum Pilkada, aku menyaksikan tukang ceramah yang menggunakan rumah ibadah sebagai tempat sumpah serapah. Membawa-bawa Tuhan yang Maha Pengasih dan Pemurah untuk menakut-nakuti jamaah dalam memilih calon kepala pemerintah.
Jumat sesudah Pilkada, aku kembali menyaksikan tukang ceramah lainnya menjadikan rumah ibadah yang sama sebagai tempat yang panas dan bikin gerah. Menyebut-nyebut Tuhan, seolah berperan aktif dalam pemilihan calon kepala pemerintah.
Aku hanya bisa geleng-geleng kepala sambil berulang kali menelah ludah. Agama yang menjadi rahmat bagi seluruh alam dijadikan pembenar untuk menabur dendam.
Aku tak bisa menyalahkan si tukang ceramah. Dia hanya satu dari ribuan atau bahkan jutaan orang-orang baik yang diperalat oleh orang-orang licik. Orang-orang licik yang menggunakan agama sebagai alat merebut kuasa dan harta.
 Agama, sejatinya adalah alat untuk mewujudkan nilai-nilai semesta Sang Maha Kuasa. Kenyataannya, perebutan kuasa justeru menjauhkan orang dari Yang Maha Kuasa.
Tuhan berubah menjadi hantu yang menakutkan. Rumah Tuhan beralih-fungsi menjadi rumah hantu yang mencekam. Mulut penceramah menimbulkan pencemaran yang mematikan nalar dan iman.
Jumat menjadi hari yang kehilangan hikmat karena menutup ruang untuk berbeda pendapat. Jumat menjadi hari suci para psikopat untuk mencaci dan mengumpat.
Wahai tukang ceramah, bersuaralah dengan ramah, bukan dengan marah. Sampaikanlah pesan Tuhan Yang Maha Kuasa tanpa politisasi dan provokasi pesanan para tuan yang gila kuasa.
Wahai tukang ceramah, bacalah dengan nama Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ajarkanlah keimanan kepada kami tanpa harus mengganggu keamanan orang lain.
Aku merindu Jumat sebagai tempat menuntut ilmu. Aku menanti Jumat sebagai tempat berserah diri dan mengabdi. Mengabdi demi dan untuk Ketuhanan sekaligus kemanusiaan.
Jumat, jangan menjadi laknat.