Mohon tunggu...
Muhayat AF
Muhayat AF Mohon Tunggu... -

http://1000burungkertas.org/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Puasa Revolutif

15 Agustus 2010   16:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:00 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Adakah hubungan antara ibadah puasa Ramadhan dan pembentukan moral seseorang? Apakah puasa yang baik akan berpengaruh baik pada segi-segi kehidupan seseorang yang menjalaninya? Bagaimana jika ibadah puasa yang sudah mentradisi itu sama sekali tidak berbekas pada perilaku dan moralitas pelakunya atau masyarakat di sekitarnya? Bila terakhir ini yang terjadi, dimana letak kesalahan itu?

Pertanyaan-pertanyaa semacam ini mungkin terkesan biasa-biasa saja dan hanya akan tinggal sebuah pertanyaan, kalau kita melihat puasa hanya sebagai upacara seremonial tahunan belaka. Namun bila kita mencermatinya lebih mendalam dan mempertanyakan secara mendasar, pertanyaan-pertanyaan itu ternyata cukup mengusik rasa dan penghayatan keberagamaan kita. Pertanyaan-pertanyaan tersebut membuat kita bertanya lebih jauh, kalau begitu apa perlunya Allah Swt mengajarkan kepada manusia yang percaya (orang-orang yang beriman) untuk berpuasa? Bila tidak ada beda antara yang berpuasa dan yang tidak, tantas untuk apa puasa?

Bila ada kesenjangan antara ibadah puasa dan nilai-nilai yagn diajarkannya, itu berarti ibadah puasa baru dilakukan dalam tataran ritual belaka. Jika demikian halnya yang terjadi, maka puasa Ramadhan masih sekadar rutinitas yang formalistik atau sekedar untuk mengugurkan kewajiban. Belum sampai kepada puasa revolutif yang mampu merubah segala perilaku, gaya dan sikap hidup, serta pola pikir pelakunya ke arah yang lebih baik, lebih positif.

Mengawali Perubahan di Bulan Ramadhan

Ramadhan tidak hanya mengandung ritus tetapi juga nilai-nilai. Semangat dan nilai Ramadhan itu bergerak. Ia tidak hanya berhenti dan memperkaya horizon pengalaman beragama individual, tetapi juga berlanjut implikasinya pada pembentukan mental seseorang yang pada akhirnya mengarah pada terciptanya tatanan sosialyang sesuai dengan nilai-nilai Ramadhan itu sendiri

Kalau puasa Ramadhan yang sebulan penuh itu diibaratkan training atau pelatihan, maka inilah saat bagi kita untuk menempa dan membiasakan diri dengan nilai-nilai yang terkandung dalam bulan Ramadhan. Di bulan ini kita dituntut untuk mengamalkan nilai-nilai kedisiplinan, kebersihan, keteraturan, kesehatan, kebersamaan, tepaselira, kasih saying terhadap sesama, dan lain-lain. Dengan tempaan setiap hari, siang dan malam, selama satubulan lamanya, seorang yang berpuasa di harapkan keluar dari training Ramadhan ini sebagai sosok yang memiliki sifat, karakter dan nilai-nilai luhur sesuai yang didapatkan di bulan Ramadhan.

Puasa sebenarnya merupakan wahana yang baik untuk meningkatkan keakraban, kasih sayang, dan kedamaian antara semua anggota dalam keluarga. Dimulai dengan saling memaafkan sebelum memasuki Ramadhan, beribadah bersama, makan sahur dan berbuka bersama anggota keluarga, serta kemudia memasuki Hari Idul Fitri dengan damai dan hati yang lapang lagi suci. Ini semua dapat terjadi di bulan Ramadhan. Lalu timbul pertanyaan bagi kita: Jika kita bisa melakukan hal semacam ini di bulan Ramadhan, mengapa kita harus mengakhirinya seiring berakhirnya bulan Ramadhan? Mengapa suasana harmonis itu harus kembali lenyap seiring tergantikannya bulan Ramadhan dengan bulan-bulan lain?

Betapa tidak, jika ibadah puasa mengajarkan kepada manusia untuk menyayangi dan melindungi yang lemah, yang kecil, dan yang tertindas, tetapi yang sering terlihat dalam keseharian malah pemerasan kepada yang lemah, kesewenang-wenangan kepada yang kecil, dan penindasan kepada yang sudah tertindas. Lalu bagaimana dengan hasil training selama sebulan Ramadhan itu?

Mungkin kita harus menata ulang paradigma kita tentang Ramadhan. Kita memang dituntut untuk mengangungkan bulan Ramdhan dan mengisinya dengan kabaikan serta amal ibadah. Tapi bukan berarti kita mengabaikan kebaikan di bulan-bulan yang lain. Ramadhan hendaknya menjadi awal bagi kita untuk memulai segala kebaikan. Kita dididik, dilatih dan digembleng dengan berbagai kebaikan di bulan Ramadhan, untuk kemudian kita terapkan pada bulan-bulan selanjutnya.

Jika hal ini yang terjadi, keutamaan Ramadhan tidak hanya kita rasakan satu bulan saja, melainkan akan terus menerus, sepanjang tahun, selamanya. Hingga kita bertemu dengan ramadhan-ramadhan selanjutnya.

Salam

15082010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun