[caption id="attachment_81197" align="alignleft" width="171" caption="Google.com"][/caption]
Kemarin saya harus mengikuti tes interview untuk pekerjaan yang ditawarkan seorang dosen beberapa minggu lalu. Seperti biasa sebelum interview panitia menyodorkan selembar kertas yang harus saya isi menyangkut data diri saya. Dimulai dari nama, riwayat pendidikan, pekerjaan, prestasi yang pernah saya peroleh, dan satu hal lagi yang kemudian memaksa saya untuk memosting tulisan ini, yaitu Prinsip Hidup.
Tentu tidak susah menuliskan prinsip hidup yang menjadi pegangan hidup kita. Selama ini kita sudah menjalani hidup jadi tinggal tulis saja apa yang menjadi pegangan hidup ini. Namun tidak demikian yang terjadi kemarin. Seorang yang duduk disamping saya melihat kertas yang ada di tangan saya lalu bertanya, “Prinsip hidup kamu apa?” Saya hanya memperlihatkan formulir saya yang masih kosong pada isian prinsip hidup. Dia pun ikut memperlihatkan kertas isianya. Ada sebuah kalimat tidak terbaca di sana karena ia sudah mencoret kata-kata itu.
Sepertinya tidak hanya teman ini yang ragu untuk menuliskan prinsip hidupnya. Seperti dalam buku “Socrates Café” saya melihat beberapa kelompok diskusi kecil yang tiba-tiba terbentuk di antara mereka untuk membicarakan prinsip hidup. Ya, hampir sama dengan forum diskusi yang digagas Christopher Philips itu, mereka saling melontarkan pertanyaan dan menjawabnya dengan pertanyaan yang lain. Tidak ada habisnya. Sampai mereka hampir lupa bahwa para peserta diminta untuk mengisi dan bukan untuk mendiskusikannya. Tapi tidak demikian dengan seorang cewek yang duduk di sebelah kanan saya. Ia begitu lancar menuliskan prinsip hidup yang selama ini ia pegang. Lima baris untuk kolom prinsip hidup hampir tidak tersisa. Sepertinya ia memang telah memegang prinsip hidupnya sejak ia memulai kehidupannya. Dan saya sendiri? Saya menyerahkan formulir itu tanpa menulis prinsip hidup.
***
Hampir setengah jam saya diwawancarai oleh penguji. Padahal peserta sebelumnya tidak ada yang lebih dari 15 menit. Pertanyaan yang harus saya jawab pun ternyata seputar kolom formulir yang saya kosongkan tadi. Prinsip Hidup. Tapi yang membuat saya merasa betah berlama-lama dengan penguji ini karena kami tidak lagi seperti dalam wawancara untuk sebuah pekerjaan. Dalam tubuh penguji yang ada di hadapan saya, saya melihat kehadiran Socrates yang terus melontarkan pertanyaan-pertanyaan kepada para muridnya. Mungkin saya tidak mewakili sosok Plato, tapi saya tidak ragu untuk memberikan pertanyaan balik kepada sang Socrates.
[caption id="attachment_81199" align="alignright" width="225" caption="dood_van_socrates_jacques-louis_david (www.google.com)"][/caption]
Apa itu prinsip? Mengapa manusia harus memeiliki prinsip? Bukankan manusia memang harus memiliki prinsip? Bagaimana manusia harus menjalankan prinsip hidup yang menjadi pegangannya? Manusia yang hidup tanpa prinsip apa bedanya dengan binatang yang juga hidup? Apa susahnya menulis prinsip hidup yang sudah kita jalani?
Dari pertanyaan-pertanyaan sederhana itu terus saja muncul entah berapa puluh lagi pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan yang tidak menarik untuk saya jawab. Dan sepertinya dia memang tidak keberatan saat saya kembali melontarkan pertanyaan atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Hingga akhirnya suara adza dzuhur memaksa ia mengakhiri interview paling romantis ini. Juga dengan sebuah pertanyaan, “Apakah sudah menjadi prinsip Anda untuk tidak menulis prinsip hidup yang Anda miliki?” Sebuah pertanyaan penutup yang dibubuhi sebuah senyuman. Tentu saja saya tidak ingin meninggalkannya tanpa senyum balasan. “Terima kasih Bapak percaya kalau saya masih memiliki prinsip hidup meskipun tidak saya tulis dalam formulir itu. Dan yang pasti, bukan prinsip saya untuk tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan Bapak.”
***
Interview paling menarik yang pernah saya hadapi. Semoga ia pun merasakan hal yang sama dan tertarik untuk melanjutkan obrolan seputar prinsip hidup atau obrolan lainnya. Semuanya bisa, asal saya diterima untuk pekerjaan yang ditawarkan. Hahahahaha…
“Yang paling berguna dari sebuah prinsip ialah prinsip selalu dapat dikorbankan bila hal itu menguntungkan” (Somerset Maughan)
Salam Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H