Rasa letih begitu menggelayuti tubuhku saat aku kembali ke kamarku. Hingar bingar suara musik yang dibumbui jerit dan tawa muda-mudi itu belum juga keluar dari dalam telingaku. Padahal aku sudah tidak lagi berada di kafe itu. Hard Rock Café, tempatku menghabiskan malam ini bersama teman-teman.
Kulihat Swiss Army yang melingkar di pergelangan tanganku. Jarumnya menunjuk tepat pada angka 04.00. Tidak banyak yang ingin aku lakukan pada saat ini. Dengan serta merta ku lemparkan sepatu Feragamo dan Jaket Sergio Tacchini ke sudut kamar. ingin aku tanggalkan semua asessoris yang melekat pada tubuhku. Tapi rasa kantuk memaksaku berkata lain. Langsung saja ku rebahkan tubuhku d tempat tidur. Tetap dengan T-Shirt dan Armani Jeans dan yang ku pakai sejak kemarin. Aku tidak lagi berpikir eman untuk menggunakan pakaian mahal ini menggantikan piyama tidurku. Apalah arti kaos dan jeans buatku dibanding asesori berkelas lainnya yang selalu melekat ditubuhku. Selain Salvatore Ferragamo, jam tangan Rolex atau Patek Philippe, Kacamata Cartier, ikat pinggang Phillipe Chariol, dasi Christian Dior, bolpen Mont Blanc, hp Virtue/BB Bold, selalu menjadi pilihanku. Atau setelan jas dengan bahan Ermenegildo Zegna menjadi pilihan favorit saat aku harus menghadiri acara formal.
Aku hampir terlelap. Rasa pusing yang menutupi hampir seluruh sudut kepalaku sudah hampir hilang. Sampai saat nada panggil BB-ku terus berteriak di sela alunan lagu Jimmy Hendrix yang menemaniku sejak tadi. Sebuah pesan dari Nia - yang dulu pernah jadi aktifis junior sekaligus adik tingkat semasa aku menjadi mahasiswa di sebuah Perguruan Tinggi ternama di Jogja - yang saat ini memimpin sebuah majalah kampus. Ku sempatkan membuka pesan itu.
"Bang, artkl psananq kmrn bsa q ambl pgi ini? Sgr naek cetak nih. Sorry, gnggu mlm2."
Aku segera bangkit. Aku tidak ingin mengecewakannya lagi karena lupa memenuhi janjiku seperti bulan lalu. Mungkin orang lain sudah terbiasa aku buat kecewa berulang-ulang. Tapi tidak untuk Nia. Terlewat bodoh kalau aku harus mengecewakan mahasiswa cantik dengan seribu keistimewaan itu.
Sejenak aku ke kamar mandi, membasuh muka untuk sekedar mengusir rasa kantuk yang terus menggelayuti kelopak mataku. tak selang begitu lama, mataku sudah terasa sedikit segar. Ku siapkan beberapa buku sebagai referensi. Layar Windows sudah menunggu di Notebook Apple-ku. Masih ragu judul apa yang akan aku pilih. hampir 10 menit berlalu belum juga jemariku bergerak. Sampai akhirnya, sambil mematikan sebatang Marlboro Light yang sejak tadi menemani pikiran kosongku, aku menemukan sebuah judul yang sesuai dengan tema yang ditawarkan Nia. Jemariku mulai bergerak, mengantarku pada sebuah tulisan berjudul "Lawan Globalisasi dan Budaya Barat"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H