[caption id="attachment_92636" align="alignleft" width="280" caption="Cepat atau lambat kita akan sampai pada ujung perjalanan kita di dunia ini, sampai pada Kematian. (sumber gmbr: Google)"][/caption]
Berawal dari pertemuan dengan seorang teman yang tinggal di sebuah pesantren di Jogjakarta. Aku sengaja mengunjunginya setelah ia memintaku datang ke Kota Gudeg ini untuk sebuah tawaran kerja freelance sebagai penerjemah. Hampir 7 tahun kami tidak bertemu. Tepatnya semenjak kami sama-sama lulus SMA. Setibanya di pesantren itu kami berbincang sebentar. Tiba-tiba ia langsung mempersiapkan tempat tidur untukku. "Aku ingin ngobrol banyak denganmu." Kata-kata itu tidak sempat keluar dari mulutku dan hanya tersendat dalam benak saat ia menutup perbincangan kami malam itu, "Aku tidak tega melihat matamu yang sayu itu. Sepertinya kamu tidak tidur selama perjalanan. Besok masih ada waktu untuk ngobrol." Aku hanya mengangguk. Kebahagiaan bertemu kawan lama ternyata tidak bisa menutupi rasa letihku setelah menempuh perjalanan 8 jam lamanya.
Rasa lelah yang kurasakan malam itu justru membuatku tidak bisa tidur. Ku terus terjaga hingga dini hari. Ku lihat temanku sudah terlelap berbaring di atas karpet di kamar itu. Banyak orang bilang air wudhu sangat membantu untuk menenangkan pikiran dan mujarab bagi mereka yang tidak bisa tidur. Itu pula yang aku lalukan pada malam itu. Berwudhu dan menuju mushola yang tidak jauh dari kamar temanku. Tidak satupun lampu menyala di dalam mushola itu. tapi cahaya yang remang dari gedung sekitar mushola cukup membantuku melihat segala yang ada di mushola itu. Aku tidak sendiri di mushola itu. Seorang pria tampak khusyu' berdiam di pojok sisi kanan mushola.
Sepertinya tidak banyak yang aku lakukan di mushola malam itu. Setelah shalat beberapa raka'at, aku hanya terduduk. Tanpa satu kata terucap untuk bermunajad. Pikiranku kosong untuk entah berapa lama. Sampai aku tersadar dan memutuskan untuk kembali ke kamar temanku. Tapi niatku terhenti saat aku bangkit dari duduk kulihat pria itu sudah menunggu di belakangku. Ia mengulurkan tangan seraya mengucap salam. Tidak banyak basa-basi yang diberikan sebagai sapaan pada orang yang baru dikenal. Setelah tanya nama, kota asal, dan maksud kedatanganku ke Jogja. Ia langsung melontarkan pertanyaan yang membuatku semakin asing dengan tempat yang baru saja ku kunjungi ini. Bahkan membuatku merasa asing dengan diriku sendiri.
"Mas pernah berfikir tentang kematian?" aku belum sempat menjawab dan ia kembali membungkamku dengan sebuah pertanyaan, "Sudah siap kalau esok atau bahkan hari ini Tuhan mengambil nyawamu?"
Aku hanya bisa menjawab, "Belum." sebuah jawaban yang begitu saja keluar dari mulutku. Saat itu aku pun tidak tahu alasan apa yang membuatku memilih jawab itu. Ia pun tidak menanyakan ketidaksiapanku menemui kematian. Juga tidak memberi penjelasan apa-apa tentang pertanyaannya. Dengan serta merta ia mengucap salam dan meninggalkanku. Aku terdiam. Tapi kali ini otakku seperti dipacu untuk berapologi atas jawaban dan ketidaksiapanku menemui kematian. “Masih banyak yang belum kudapatkan di dunia ini. Aku belum bias membahagiakan orang-orang di sekitarku. Aku masih terlalu muda untuk mati hari ini…Ahh… mengapa harus ku ambil pusing. Bukankan pria itu sudah pergi.” Aku kembali ke kamar temanku dengan pertanyaan yang terus membelengguku.
"Kamu sudah siap kalau hari ini Tuhan mengambil nyawamu?" temanku tampak terperanjat mendengar pertanyaanku padanya, selang satu hari setelah pertemuanku dengan pria di mushola itu. Ia hanya tertawa dan menganggap pertanyaanku sebagai guyonan. Hingga aku harus menceritakan tentang pria yang kutemui. Ia sama sekali tidak mengenal pria dengan ciri yang kusebutkan. Menurutnya tidak ada pria paruh baya di tempat itu. Semua yang tinggal di pesantren itu adalah mahasiswa S1. Hanya satu orang yang berumur lebih dari 30-an di tempat itu. Beliaulah pengasuh pesantren. Tapi pria itu sama sekali bukan pengasuh yang di kemudian hari aku juga mengenalnya.
***
Setelah 2 tahun berlalu dan tinggal d Jogja, bahkan hampir seluruh waktu luang kuabiskan di tempat itu belum juga aku berjumpa dengan sosok yang pernah kutemui malam itu. Aku bahkan hampir lupa bagaimana raut wajahnya secara jelas. Yang tersisa hanya pertanyaan yang melahirkan pertanyaan dalam diriku sendiri, “Kapan aku siap mati?”
Salam Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H