Mohon tunggu...
Zulkifli Muhammad
Zulkifli Muhammad Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Just Ordinary People

Menulis untuk sebuah pembebasan...

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pengadilan Undercover: Dari Tuntutan Kesejahteraan, Budaya Feodal Hingga Hati Nurani Rakyat!!!

15 Oktober 2024   08:15 Diperbarui: 15 Oktober 2024   08:19 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Apa yang terjadi 12 tahun silam, kini ternyata kembali berulang. Para “Wakil Tuhan” yang didaulat memberikan keadilan kepada masyarakat sesuai amanat undang undang kembali mengajukan tuntutan peningkatan kesejahteraan. Tuntutan yang sebenarnya tidak muluk muluk karena sejatinya, apa yang mereka tuntut adalah komitmen negara yang sudah sejak 12 tahun lalu dinyatakan dengan tegas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang sampai detik ini belum sepenuhnya terealisasi.

Gerakan yang diinisiasi oleh para hakim muda yang tergabung dalam Solidaritas Hakim Indonesia (SHI) ini tentunya memiliki alasan yang kuat dan masuk akal karena didasari oleh kondisi rill yang mereka hadapi langsung disatuan kerja masing – masing khususnya mereka yang bertugas di pelosok tanah air, di daerah daerah kabupaten. Dibandingkan dengan Aparat Penegak Hukum (APH) lainnya, hakim memang diperhadapkan pada kondisi dimana segala tindakan dan perbuatannya terikat pada pedoman kode etik yang cenderung membatasi ruang gerak, tidak terkecuali pada segala tindakan yang ditujukan untuk pencapaian kesejahteraan pribadi dan keluarganya. Disaat yang bersamaan, Hakim diperhadapkan pula pada minimnya dukungan fasilitas dalam pelaksanaan tugas serta desakan untuk pemenuhan kebutuhan dasar berupa sandang, pangan, papan dan pendidikan untuk anak-anaknya;

Mungkin banyak pihak diluar yang bertanya-tanya, kenapa para hakim itu menuntut peningkatan kesejahteraan ? bukankah berdasarkan PP 94 Tahun 2012 penghasilan hakim sudah cukup besar dengan kisaran besaran tunjangan dari terendah 8,5 juta sampai dengan tertinggi 27 jt (untuk pengadilan Tk. Pertama dari seluruh kelas), dan jumlah itu belum diakumulasi dengan gaji pokok, tunjangan kemahalan dan transportasi yang rutin mereka terima setiap bulannya ?? Memang benar dan itu fakta. Tapi perlu difahami juga bagi pihak yang belum mengetahui bahwa hakim itu bukan hanya ada di Mahkamah Agung (namanya Hakim Agung, yang penghasilannya sekitar 60 jutaan/bulan) atau ditingkat Propinsi (namanya Hakim Tinggi, yang penghasilannya sekitar 40 jutaan/bulan) tapi hakim itu ada di semua gugusan kabupaten/kota (namanya Hakim Tk.I) termasuk di daerah-daerah kabupaten yang sarana dan prasarana transportasinya masih sangat terbatas dan disepanjang karirnya menjalankan tugas, mereka selalu berpindah dari satu daerah ke daerah yang lain. Tanggungjawabnya menuntut mobilitas yang tinggi dan tentu dengan konsekuensi biaya yang tinggi pula.

Setiap kali panggilan mutasi melalui TPM terbit mereka harus mempersiapkan biaya yang tidak sedikit untuk mobilisasi ke tempat tugas yang baru. Bahkan bagi hakim yang mutasi antar kabupaten antar propinsi sampai menyeberang pulau harus menyewa kontainer untuk memuat seluruh perlengkapan rumah tangganya. Bagi hakim yang membawa serta keluarga (anak dan istri), tentu tidak hanya membeli tiket perjalanan untuk diri sendiri tapi untuk seluruh anggota keluarganya. Belum lagi untuk urusan lain seperti mengurus kepindahan anak untuk bersekolah di tempat tugas yang baru semuanya tentu butuh tenagan, waktu dan biaya, dan akumulasi biaya yang harus dikeluarkan itu seringkali tidak sesuai dengan penggantian biaya pindah yang diterima oleh para hakim. Itupun mereka harus menggunakan uang pribadi terlebih dahulu, belakangan setelah dokumen-dokumen kepindahan disertai SPMT (Surat Pernyataan Melaksanakan Tugas) dilengkapi barulah biaya kepindahan digantikan. Coba saja bayangkan berapa biaya yang harus mereka keluarkan untuk keperluan kepindahan tersebut.

Demikian pula, bagi hakim yang tidak membawa sanak keluarga, anak istrinya tetap berada di kampung halaman dan ini yang paling umum terjadi. Para hakim yang kondisinya seperti ini selain harus mampu memberikan perhatian maksimal kepada anggota keluarganya juga dituntut untuk tetap berdisiplin dalam melaksanakan tanggungjawab pekerjaan. Solusinya adalah dengan mengambil cuti yang waktunya terbatas. Untuk dapat memenuhi kebutuhan sekaligus kewajiban ini, hakim harus menempuh jalur mobilisasi tercepat untuk menghemat waktu di perjalanan demi memaksimalkan waktu yang terbatas dengan keluarga tanpa melalaikan tugas dan kewajiban ditempat kerja.

Coba bayangkan seorang hakim yang bertugas di kabupaten di ujung sulawesi namun harus menempuh perjalanan ratusan kilometer pulang ke Pulau Sumatera demi bertemu dengan orang tua, anak dan istrinya, berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk biaya transportasi bolak balik dari tempat tugasnya ke kampung halaman. Belum lagi dalam kondisi kondisi darurat, ketika anak sakit atau orang tua sakit bahkan meninggal dunia, tentu biaya yang dikeluarkan untuk melakukan perjalanan seketika jauh lebih besar lagi.

Belum sampai disitu, ternyata ditempat tugas tidak jarang kondisi rumah dinas tidak layak huni karena mengalami rusak berat dan sulit untuk dilakukan perbaikan akibat keterbatasan anggaran dan terlalu berbelit-belitnya sistem birokrasi anggaran dan Barang Milik Negara (BMN), akhirnya hakim harus mengeluarkan biaya lagi untuk menyewa rumah kontrakan atau sekedar tempat kos;

Dari contoh realitas keseharian yang dialami oleh para hakim ini sekiranya cukup untuk merasionalkan apa yang menjadi tuntutan mereka. Kondisi yang tidak dialami oleh pegawai yang bekerja di daerah kabupaten/kota (Pemda), fungsional guru termasuk para buruh pekerja. Meskipun benar penghasilan mereka lebih rendah dari hakim tapi mereka tidak perlu mengalami keadaan bekerja secara nomaden;  

Jadi benar memang penghasilan hakim besar, tapi pengeluaran mereka jauh lebih besar !!! dan itu juga adalah fakta.

Sekarang yang menjadi soal mengapa ideal tentang kesejahteraan hakim yang nyata sudah menjadi hukum positif wajib ditunaikan oleh negara cq. Pemerintah tak kunjung terealisasi padahal sudah melewati masa 1 (satu) dasawarsa ?? 12 tahun bukan waktu yang singkat. Sekedar menyegarkan ingatan bahwa terbitnya PP 94 Tahun 2012 itu mendekati dua tahun sebelum berakhirnya periode rezim SBY. Para hakim menuntut perbaikan kesejahteraan dihadapan anggota komisi 3 DPR-RI sebagaimana terjadi hari ini. Ketika itu, kondisi hakim jauh lebih terpuruk dibandingkan dengan kondisi hakim saat ini. Tunjangan jabatan hanya dikisaran 650 ribuan ditambah gaji pokok, uang makan dan remunerasi, total take home pay hakim ketika itu hanya sekitar 4 sampai 5-jutaan per bulan, bahkan ketika itu hakim agung juga masih menerima remunerasi.

Namun setelah rezim SBY berganti rezim Jokowi di 2014, praktis kepedulian pemerintah terhadap kesejahteraan hakim hampir tidak ada. Bukan hanya hakim, termasuk ASN yang dahulu setiap tahunnya rutin mengalami penyesuaian gaji, selama 2 periode rezim berkuasa tidak mendapatkan perhatian yang berarti, hal ini terbukti dari penyesuaian gaji terjadi hanya 3x yaitu di tahun 2015 (setahun pasca pemilu), tahun 2019 (tahun pemilu) dan terakhir 2024 (tahun pemilu) dengan total kenaikan 18 %. Bandingkan dengan kenaikan gaji ASN di era SBY yang terjadi 9x dengan total kenaikan 98 %.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun