Mohon tunggu...
Zulkifli Muhammad
Zulkifli Muhammad Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Just Ordinary People

Menulis untuk sebuah pembebasan...

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pengadilan Undercover: Dari Tuntutan Kesejahteraan, Budaya Feodal Hingga Hati Nurani Rakyat!!!

15 Oktober 2024   08:15 Diperbarui: 15 Oktober 2024   08:19 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang terjadi 12 tahun silam, kini ternyata kembali berulang. Para “Wakil Tuhan” yang didaulat memberikan keadilan kepada masyarakat sesuai amanat undang undang kembali mengajukan tuntutan peningkatan kesejahteraan. Tuntutan yang sebenarnya tidak muluk muluk karena sejatinya, apa yang mereka tuntut adalah komitmen negara yang sudah sejak 12 tahun lalu dinyatakan dengan tegas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang sampai detik ini belum sepenuhnya terealisasi.

Gerakan yang diinisiasi oleh para hakim muda yang tergabung dalam Solidaritas Hakim Indonesia (SHI) ini tentunya memiliki alasan yang kuat dan masuk akal karena didasari oleh kondisi rill yang mereka hadapi langsung disatuan kerja masing – masing khususnya mereka yang bertugas di pelosok tanah air, di daerah daerah kabupaten. Dibandingkan dengan Aparat Penegak Hukum (APH) lainnya, hakim memang diperhadapkan pada kondisi dimana segala tindakan dan perbuatannya terikat pada pedoman kode etik yang cenderung membatasi ruang gerak, tidak terkecuali pada segala tindakan yang ditujukan untuk pencapaian kesejahteraan pribadi dan keluarganya. Disaat yang bersamaan, Hakim diperhadapkan pula pada minimnya dukungan fasilitas dalam pelaksanaan tugas serta desakan untuk pemenuhan kebutuhan dasar berupa sandang, pangan, papan dan pendidikan untuk anak-anaknya;

Mungkin banyak pihak diluar yang bertanya-tanya, kenapa para hakim itu menuntut peningkatan kesejahteraan ? bukankah berdasarkan PP 94 Tahun 2012 penghasilan hakim sudah cukup besar dengan kisaran besaran tunjangan dari terendah 8,5 juta sampai dengan tertinggi 27 jt (untuk pengadilan Tk. Pertama dari seluruh kelas), dan jumlah itu belum diakumulasi dengan gaji pokok, tunjangan kemahalan dan transportasi yang rutin mereka terima setiap bulannya ?? Memang benar dan itu fakta. Tapi perlu difahami juga bagi pihak yang belum mengetahui bahwa hakim itu bukan hanya ada di Mahkamah Agung (namanya Hakim Agung, yang penghasilannya sekitar 60 jutaan/bulan) atau ditingkat Propinsi (namanya Hakim Tinggi, yang penghasilannya sekitar 40 jutaan/bulan) tapi hakim itu ada di semua gugusan kabupaten/kota (namanya Hakim Tk.I) termasuk di daerah-daerah kabupaten yang sarana dan prasarana transportasinya masih sangat terbatas dan disepanjang karirnya menjalankan tugas, mereka selalu berpindah dari satu daerah ke daerah yang lain. Tanggungjawabnya menuntut mobilitas yang tinggi dan tentu dengan konsekuensi biaya yang tinggi pula.

Setiap kali panggilan mutasi melalui TPM terbit mereka harus mempersiapkan biaya yang tidak sedikit untuk mobilisasi ke tempat tugas yang baru. Bahkan bagi hakim yang mutasi antar kabupaten antar propinsi sampai menyeberang pulau harus menyewa kontainer untuk memuat seluruh perlengkapan rumah tangganya. Bagi hakim yang membawa serta keluarga (anak dan istri), tentu tidak hanya membeli tiket perjalanan untuk diri sendiri tapi untuk seluruh anggota keluarganya. Belum lagi untuk urusan lain seperti mengurus kepindahan anak untuk bersekolah di tempat tugas yang baru semuanya tentu butuh tenagan, waktu dan biaya, dan akumulasi biaya yang harus dikeluarkan itu seringkali tidak sesuai dengan penggantian biaya pindah yang diterima oleh para hakim. Itupun mereka harus menggunakan uang pribadi terlebih dahulu, belakangan setelah dokumen-dokumen kepindahan disertai SPMT (Surat Pernyataan Melaksanakan Tugas) dilengkapi barulah biaya kepindahan digantikan. Coba saja bayangkan berapa biaya yang harus mereka keluarkan untuk keperluan kepindahan tersebut.

Demikian pula, bagi hakim yang tidak membawa sanak keluarga, anak istrinya tetap berada di kampung halaman dan ini yang paling umum terjadi. Para hakim yang kondisinya seperti ini selain harus mampu memberikan perhatian maksimal kepada anggota keluarganya juga dituntut untuk tetap berdisiplin dalam melaksanakan tanggungjawab pekerjaan. Solusinya adalah dengan mengambil cuti yang waktunya terbatas. Untuk dapat memenuhi kebutuhan sekaligus kewajiban ini, hakim harus menempuh jalur mobilisasi tercepat untuk menghemat waktu di perjalanan demi memaksimalkan waktu yang terbatas dengan keluarga tanpa melalaikan tugas dan kewajiban ditempat kerja.

Coba bayangkan seorang hakim yang bertugas di kabupaten di ujung sulawesi namun harus menempuh perjalanan ratusan kilometer pulang ke Pulau Sumatera demi bertemu dengan orang tua, anak dan istrinya, berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk biaya transportasi bolak balik dari tempat tugasnya ke kampung halaman. Belum lagi dalam kondisi kondisi darurat, ketika anak sakit atau orang tua sakit bahkan meninggal dunia, tentu biaya yang dikeluarkan untuk melakukan perjalanan seketika jauh lebih besar lagi.

Belum sampai disitu, ternyata ditempat tugas tidak jarang kondisi rumah dinas tidak layak huni karena mengalami rusak berat dan sulit untuk dilakukan perbaikan akibat keterbatasan anggaran dan terlalu berbelit-belitnya sistem birokrasi anggaran dan Barang Milik Negara (BMN), akhirnya hakim harus mengeluarkan biaya lagi untuk menyewa rumah kontrakan atau sekedar tempat kos;

Dari contoh realitas keseharian yang dialami oleh para hakim ini sekiranya cukup untuk merasionalkan apa yang menjadi tuntutan mereka. Kondisi yang tidak dialami oleh pegawai yang bekerja di daerah kabupaten/kota (Pemda), fungsional guru termasuk para buruh pekerja. Meskipun benar penghasilan mereka lebih rendah dari hakim tapi mereka tidak perlu mengalami keadaan bekerja secara nomaden;  

Jadi benar memang penghasilan hakim besar, tapi pengeluaran mereka jauh lebih besar !!! dan itu juga adalah fakta.

Sekarang yang menjadi soal mengapa ideal tentang kesejahteraan hakim yang nyata sudah menjadi hukum positif wajib ditunaikan oleh negara cq. Pemerintah tak kunjung terealisasi padahal sudah melewati masa 1 (satu) dasawarsa ?? 12 tahun bukan waktu yang singkat. Sekedar menyegarkan ingatan bahwa terbitnya PP 94 Tahun 2012 itu mendekati dua tahun sebelum berakhirnya periode rezim SBY. Para hakim menuntut perbaikan kesejahteraan dihadapan anggota komisi 3 DPR-RI sebagaimana terjadi hari ini. Ketika itu, kondisi hakim jauh lebih terpuruk dibandingkan dengan kondisi hakim saat ini. Tunjangan jabatan hanya dikisaran 650 ribuan ditambah gaji pokok, uang makan dan remunerasi, total take home pay hakim ketika itu hanya sekitar 4 sampai 5-jutaan per bulan, bahkan ketika itu hakim agung juga masih menerima remunerasi.

Namun setelah rezim SBY berganti rezim Jokowi di 2014, praktis kepedulian pemerintah terhadap kesejahteraan hakim hampir tidak ada. Bukan hanya hakim, termasuk ASN yang dahulu setiap tahunnya rutin mengalami penyesuaian gaji, selama 2 periode rezim berkuasa tidak mendapatkan perhatian yang berarti, hal ini terbukti dari penyesuaian gaji terjadi hanya 3x yaitu di tahun 2015 (setahun pasca pemilu), tahun 2019 (tahun pemilu) dan terakhir 2024 (tahun pemilu) dengan total kenaikan 18 %. Bandingkan dengan kenaikan gaji ASN di era SBY yang terjadi 9x dengan total kenaikan 98 %.

Hal ini menunjukkan bahwa memang rezim berkuasa tidak memiliki concern terhadap upaya mitigasi mempertahankan daya beli rakyat, tidak terkecuali mereka yang berstatus sebagai hakim. 12 tahun lamanya sejak pertama kali diterbitkan tahun 2012, besaran penghasilan yang diterima oleh hakim sudah mengalami tekanan inflasi paling sedikit sampai ± 48.54 %. Dan yang paling terdampak inflasi adalah Hakim-hakim yang bertugas di daerah-daerah kabupaten/kota. Jika saja mau berandai andai bisa jadi apabila rezim yang berkuasa tetap rezim SBY, maka kondisi yang dialami oleh hakim saat ini tidak perlu terjadi, karena paling tidak rezim SBY masih memiliki kepedulian untuk menjaga daya beli rakyat.

HAKIM DAN NON HAKIM SEBAGAI ENTITAS PENGADILAN

Sejalan dengan itu, fakta lain yang perlu diketahui pula bahwa dalam institusi bernama Pengadilan, Hakim bukan satu-satunya entitas. Benar bahwa Hakim adalah icon dari Pengadilan. Kalau ada yang beranggapan hakim adalah core bussiness Pengadilan (meskipun pendapat ini tidak sepenuhnya tepat) silahkan saja, tapi disamping Hakim ada entitas lain yaitu non Hakim. Mereka ini terdiri atas para pegawai dari unsur Kepaniteraan dan Kesekretariatan. Kolaborasi antara Hakim dan non Hakim dalam institusi Pengadilan inilah yang membuat sistem bekerja menghasilkan produk akhir Pengadilan yang disebut PUTUSAN dan PENETAPAN.

Jika diatas tadi sudah kita ungkapkan bahwa Hakim menjalani mutasi dalam melaksanakan tugas, maka kondisi yang sama juga dialami oleh non Hakim baik dari unsur Kepaniteraan maupun Kesekretariatan. Mereka juga mengalami mutasi dan bekerja secara berpindah – pindah bahkan dengan keadaan yang jauh lebih memprihatinkan. Kenapa ?? Karena mereka tidak memperoleh hak berupa rumah dinas, kendaraan dinas, tunjangan kemahalan dan tunjangan transportasi sebagaimana Hakim. Sebagai contoh misalnya tenaga pranata peradilan yang asal domisilinya dari Batang Jawa Tengah dan tenaga Arsiparis dari Medan Sumatera Utara tapi ditempatkan bertugas di daerah Tolitoli Sulawesi Tengah dengan penghasilan per bulan sekitar 6 jutaan. Bisa dibayangkan, jika seandainya hakim saja yang penghasilannya jauh lebih tinggi dari mereka mengalami kekurangan, maka bagaimana dengan tenaga tenaga non hakim ini ??

Sebenarnya memang kondisi Hakim dan non Hakim tidak layak untuk saling diperbandingkan, karena tidak apple to apple dan keduanya tidak tunduk pada rezim aturan kepegawaian yang sama. Namun meskipun demikian, faktanya non Hakim juga memiliki peranan dalam sistem Pengadilan. Tanpa keberadaan mereka sebagai sebuah entitas, tak mungkin core business Pengadilan bisa berjalan optimal.

Identitas yang selalu dilekatkan pada non Hakim dari unsur Kepaniteraan dan Kesekretariatan ini adalah Suporting unit. Paradigma ini memang tidak salah, namun disisi lain justru membuat eksistensi mereka dalam struktur organisasi Pengadilan menjadi remeh dan tidak penting. Tidak jarang ditemukan fihak tertentu yang entah faham atau tidak dengan cara bekerja organisasi atau mungkin murni bermotif arogansi, mengkerdilkan peran non Hakim dari unsur Kepaniteraan dan Kesekretariatan, bahkan dengan diksi-diksi kalimat yang berkonotasi negatif seperti misalnya “non hakim itu cuma pembantu” “suporting unit jangan banyak bicara, harus siap diperintah untuk mensupport hakim” “pengadilan adalah rumah hakim” dll.

Padahal Organisasi yang disebut Pengadilan itu selayaknya dipandang sebagai sebuah sistem yang didalamnya ada entitas yang saling bersinergi mencapai tujuan bersama. Entitas itu secara garis besar adalah Hakim dan Non Hakim yang keberadaannya harus satu padu tidak justru saling menegasikan. Kalau memang stakeholder dan para petinggi Pengadilan sepakat mengadopsi cara bekerja perusahaan yang fokusnya adalah efisiensi dan kinerja dalam menghasilkan barang/jasa, maka selayaknya budaya kerja perusahaan yang memposisikan seluruh entitas di dalamnya selaku MITRA juga harus turut diadopsi.

Tidak seperti yang terjadi hari ini, sistem kerja perusahaan ditiru dengan penggunaan istilah-istilah business process, business cycle, core business dan semisalnya namun budaya feodal patrimonialistik dalam organisasi yang menuntut ketaatan mutlak serta relasi subordinasi masih tetap dipelihara. Disadari atau tidak, praktek seperti ini justru menimbulkan bias dan kontradiksi. Kenapa ? Disatu sisi para pemangku kepentingan di Pengadilan ingin agar organisasi dapat lebih produktif dengan mengadopsi konsep dan cara bekerjanya perusahaan dalam mengelola bisnis, namun disisi lain konsep seperti itu keluar dari rahim pemikiran kapitalisme yang datang justru sebagai antitesis feodalisme. Jadi idealnya, kalau disepakati sistem kapitalistik yang dipilih untuk diadaptasi ke dalam organisasi Pengadilan maka kebiasaan feodalistik dengan segala bentuk dan turunannya juga harus ditanggalkan.

Tanpa ada tendensi untuk mereduksi marwah dan kemuliaan hakim selaku pejabat negara sesuai penyebutannya dalam Undang Undang, sekiranya harus disadari pula oleh para hakim bahwa organisasi Pengadilan tidak bisa berjalan tanpa kolaborasi dan sinergi seluruh stakeholder. Organisasi Pengadilan itu memiliki struktur dan pola kerja yang unik, tidak bisa begitu saja disamakan dengan lembaga semisal DPR/DPRD yang berisi para anggota dewan yang dipilih oleh rakyat dan dalam melaksanakan tugasnya disupport oleh sebuah Kesekretariatan Jenderal yang berisi Aparatur Sipil Negara.  

Benar Hakim adalah pejabat negara, tapi diawal proses rekrutmen dan seleksinya tidak jauh berbeda dengan seleksi pegawai pemerintahan biasa, lalu apa bedanya dengan mereka yang direkrut sebagai pegawai administrasi pada posisi Klerek – Analis Perkara Peradilan yang juga dipersyaratkan harus berijazah sarjana hukum ? Kalau pun dikatakan Hakim telah mengikuti serangkaian tes dan pendidikan untuk dapat diangkat sebagai Hakim, maka apa bedanya dengan Jaksa yang juga menempuh jalur yang kurang lebih sama, ada tes, seleksi wawancara dan pendidikan jaksa, tapi setelah lulus tidak juga disebut pejabat negara ? Begitu pula hakim setelah dilantik tetap diidentifikasi dengan Nomor Induk Pegawai (NIP) dan tetap berkewajiban membuat Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) sebagaimana layaknya ASN pada umumnya.

Tidak sinkronnya aturan-aturan menimbulkan ambiguitas hakim sebagai pejabat negara yang sampai saat ini belum ditemukan solusinya. Salah satu konsekuensi yang ditimbulkan adalah berkurangnya legitimasi hakim sebagai pejabat negara, apalagi dalam perspektif internal Pengadilan yang memahami prosesnya selama bertahun tahun. Hal ini selayaknya membuat hakim jauh lebih arif dan bijaksana dalam bersikap dan berinteraksi dengan entitas non Hakim. Daripada dianggap sebagai sebuah ambiguitas lebih baik dimaknai sebagai sebuah keunikan yang membedakan organisasi Pengadilan dengan organisasi lainnya. Sikap meremehkan, merasa paling benar, tidak ingin dibantah, kecenderungan memelihara budaya feodalistik apalagi jumawa terhadap entitas non hakim tentunya tidak perlu terjadi apabila Hakim memahami esensi keunikan ini.

IDEALNYA APA YANG HARUS DILAKUKAN AGAR FRIKSI TIDAK TERJADI ?

Kecenderungan dipertahankannya budaya feodal patrimonialistik dan relasi subordinasi seolah menjadi mental block yang mengakibatkan masing-masing entitas seolah tidak terikat antara satu dengan lainnya. Apa yang diperjuangkan oleh Hakim dan non Hakim meskipun esensinya sama tapi seolah berjalan di rel yang berbeda. Entitas hakim merasa gengsi untuk berjalan beriringan dengan non Hakim. Demikian pula non hakim merasa rendah diri dan tersubordinasi karena posisinya yang rentan dan lemah.

Tuntutan hakim untuk peningkatan kesejahteraan sepanjang tidak menyentuh esensi persoalan sebenarnya, maka meskipun itu dikabulkan sesuai dengan tuntutan, tidak ada jaminan dikemudian hari tuntutan serupa tidak akan berulang. Faktanya apa yang terjadi hari ini hanya perulangan semata dari yang sudah terjadi sebelumnya. Lalu apa yang sebenarnya menjadi persoalan mendasar ? Apakah karena amanat PP 94 Tahun 2012 tidak direalisasi ?? Ya benar. Tapi itu hanya salah satu sebab saja, dan itu tergantung pada prioritas pilihan rezim yang berkuasa akan dilaksanakan atau tidak. Jika rezim peduli, beruntung. Jika tidak, maka yang bisa dilakukan hanya menuntut saja.

Lalu apa yang menjadi persoalan utama ?

Persoalan mendasarnya adalah “Ketidakmandirian Institusi Mahkamah Agung dalam hal pengelolaan Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Anggaran” Ini seharusnya yang menjadi fokus bersama seluruh entitas Pengadilan. Letak irisan kepentingan sebenarnya antara Hakim dan Non Hakim ada disini, bukan hanya pada persoalan kesejahteraan semata. Seharusnya Mahkamah Agung sebagai lembaga organik yang kewenangannya dimandatkan langsung oleh Undang Undang Dasar dan lembaga dimana seluruh Pengadilan dari empat rumpun pengadilan berafiliasi, memiliki kemandirian dalam pengelolaan SDM dan Anggaran. Jika hal itu terealisasi sesuai amanat UUD, maka tentunya Mahkamah Agung dapat dengan leluasa menyelesaikan berbagai persoalan yang membelit terkait SDM Hakim dan non Hakim maupun alokasi anggaran untuk sarana dan prasarana serta tentu saja masalah kesejahteraan.

Jika seandainya Mahkamah Agung memiliki kemandirian dalam pengelolaan SDM dan Anggaran maka ambiguitas kedudukan dan posisi Hakim sebagai pejabat negara dapat dengan mudah diselesaikan. Begitu pula jabatan jabatan kepaniteraan dalam lembaga peradilan yang sampai saat ini belum jelas nomenklaturnya bisa segera terselesaikan. Demikian pula basis massa perekrutan hakim dari kalangan internal pengadilan dapat segera ditetapkan. Dan banyak lagi persoalan yang saat ini mengalami kebuntuan dapat terselesaikan;

Daripada masing masing menuntut peningkatan kesejahteraan yang sifatnya parsial yang beresiko menimbulkan friksi karena salah ucap atau salah bertindak, alangkah baiknya Hakim dan Non Hakim mulai menggagas menyatukan persepsi, satu suara, satu rel, satu gerbong, satu gerakan untuk mendorong perubahan agar Mahkamah Agung sebagai lembaga yang independen dan memiliki kekuasaan Yudikatif diberikan mandat penuh dalam pengelolaan Sumber Daya Manusia dan Anggaran. Agar kedepannya Pengadilan bisa menjadi “rumah” bagi semua entitas baik Hakim dan non Hakim.

TUNTUTAN KESEJAHTERAAN HARUS BEREMPATI PADA HATI NURANI RAKYAT

Tuntutan peningkatan kesejahteraan oleh Hakim yang dilakukan tentunya harus mendapat dukungan penuh khususnya dari internal Pengadilan tidak terkecuali non Hakim, karena itu adalah bagian dari upaya untuk menjaga marwah penegakan hukum dan marwah institusi Pengadilan. Ketika hakim yang sejatinya adalah silent corp sudah turun ke jalan menuntut masalah pemenuhan kesejahteraan, maka itu indikasi bahwa negeri ini sedang tidak baik baik saja. Logika sederhananya, jika hakim saja yang mendapat daulat konstitusi untuk menjalankan kekuasaan kehakiman diperlakukan secara tidak layak dan tidak adil oleh kekuasaan eksekutif dan legislatif, maka bagaimana dengan perlakuan mereka terhadap rakyat ?

Tentu mereka adalah objek yang jauh lebih rentan diperlakukan secara tidak adil dan tidak manusiawi, bukan hanya oleh instrumen kekuasaan tapi juga oleh para pemilik modal. Lalu ketika rakyat yang diperlakukan secara tidak adil ini mengadukan nasibnya kepada para Hakim melalui Pengadilan untuk memperoleh keadilan sementara Hakimnya sendiri juga adalah objek dari perlakukan sistem yang tidak adil, maka yang terjadi kemudian adalah peluang terbukanya pintu penyalahgunaan kekuasaan dan praktek tukar tambah keadilan. Hukum tak lebih sebatas barang dagangan bukan lagi alat untuk menegakkan keadilan;  

Kuat dugaan sikap abai dan ketidakpedulian pengambil kebijakan di rumpun eksekutif dan legislatif dilatarbelakangi oleh tendensi politik tertentu menyebabkan perhatian terhadap penegak hukum khususnya hakim tidak menjadi prioritas. Padahal kita berharap banyak pada para hakim selaku ujung tombak penegakan hukum dan benteng terakhir keadilan, agar negara ini bisa terbebas dari praktek praktek KKN yang memiskinkan rakyat. Namun bagaimana mungkin rakyat dapat berharap pada sebuah komunitas yang masih dihinggapi kegelisahan dan kekhawatiran mengenai masalah kesejahteraan dan ketidakpastian masa depan;

Menghadapi kondisi dilematis seperti ini ditambah keterbatasan anggaran negara akibat hutang yang menumpuk, tentunya Hakim selain harus optimis dengan upaya yang dilakukan juga harus mampu menarik simpati rakyat. Karena sejatinya seluruh ASN, Pejabat Negara termasuk Hakim diberikan penghasilan oleh negara bersumber dari pajak yang dibayarkan rakyat. Jangan menimbulkan kesan bahwa tuntutan kesejahteraan hakim mengabaikan kepedulian terhadap rakyat. Jika memang ingin agar kesejahteraan itu bisa dinikmati secara berkelanjutan tanpa perlu mengajukan tuntutan-tuntutan yang sama dikemudian hari, maka pondasi kesejahteraan harus terlebih dahulu dibangun secara mapan. Pihak-pihak yang bersentuhan langsung dengan kegiatan produksi yang menghasilkan barang dan jasa di level bawah harus didukung untuk terlebih dahulu menikmati kesejahteraan. Para Petani, Pekebun, Nelayan, Pedagang, Buruh buruh pabrik, pelaku ekonomi kreatif serta pelaku usaha disemua level harus menjadi pihak yang terlebih dahulu menikmati hasil jerih payahnya secara adil dan manusiawi. Jika mereka hidup dalam kecukupan dengan tentram dan sejahtera, maka kesejahteraan itu akan mengalir dengan lancar melalui kewajiban membayar pajak yang tidak lagi dianggap sebagai beban melainkan panggilan untuk berkontribusi terhadap keberlangsungan penegakan hukum.

Alangkah menyentuhnya jika komunitas hakim yang menuntut kesejahteraan itu juga turut berempati menyuarakan hak rakyat kecil yang termarginalkan,  “kami menuntut peningkatan kesejahteraan, tapi kami tidak ingin kesejahteraan itu mendahului kesejahteraan para petani, nelayan, pedagang dan buruh buruh pabrik”. Yakin dan percaya bahwa tuntutan kesejahteraan itu malah akan mendapat dukungan positif dari seluruh rakyat.

Sebagai penutup mungkin tepatlah apa yang dikatakan Bung Hatta Kalau kita mau memperbaiki hidup maka kita harus memperbaiki moral. Tapi bagaimana mau memperbaiki moral kalau hidup kita sulit ? " Sehingga satu-satunya jalan untuk memperbaiki moral manusia adalah dengan meningkatkan taraf hidupnya yaitu dengan meningkatkan kesejahteraannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun