Mohon tunggu...
Zulkifli Muhammad
Zulkifli Muhammad Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Just Ordinary People

Menulis untuk sebuah pembebasan...

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Indonesia Emas 2045, Sebuah Cita-Cita atau Mimpi?

24 September 2024   15:26 Diperbarui: 24 September 2024   15:26 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kemudian Berdasarkan data BPS (Februari 2022), 39.10 persen tenaga kerja Indonesia masih didominasi oleh tamatan SD ke bawah, Tenaga kerja dengan pendidikan terakhir SMP 18,23 persen, SMA 18,23 persen dan SMK sebesar 11,95 persen. Tenaga kerja dengan pendidikan akhir diploma I/II/III dan universitas hanya sebesar 12,60 persen. Data ini menunjukkan bahwa SDM tenaga kerja Indonesia sebagian besar didominasi oleh mereka yang berketerampilan rendah yang mayoritas bekerja di sektor informal dengan upah rendah sehingga menghambat peningkatan kesejahteraan;

Bercermin dari potret buram tersebut, apa yang dilakukan oleh Pemerintah dalam rangka meningkatkan SDM agar memiliki kecerdasan diatas rata-rata bangsa lain di dunia ?

Ternyata solusi pamungkas yang ditawarkan adalah Program KIP Kuliah dan Kartu Prakerja yang bersumber dari anggaran negara. Melalui KIP Kuliah, anak-anak dari keluarga miskin disediakan beasiswa yang mencakup biaya hidup dan uang kuliah untuk mengikuti pendidikan di perguruan tinggi yang berkualitas sampai mereka lulus. Adapun Program Kartu Prakerja adalah program pengembangan kompetensi kerja yang ditujukan untuk pencari kerja, pekerja terkena PHK, dan/atau pekerja yang membutuhkan peningkatan kompetensi.

Apakah solusi yang ditawarkan berupa KIP Kuliah dan Kartu Prakerja adalah peta jalan yang tepat untuk mewujudkan SDM Unggul ?? Jika dikelola dengan visi yang jelas, bertanggungjawab dan cara yang tepat tentunya tidak menjadi soal. Namun, faktanya tidak demikian, karena dilapangan begitu banyak persoalan yang melilit KIP Kuliah dan Kartu Prakerja ini. Jikalau seandainya KIP Kuliah itu efektif memberikan solusi kepada mahasiswa maka tentu tidak ada kasus mahasiswa yang terancam DO sekaligus terjerat hutang dari pinjaman online dan ini terjadi disalah satu Universitas ternama di Indonesia. Coba bayangkan seorang generasi penerus bangsa yang berjuang untuk masa depannya melalui bangku kuliah tapi malah harus membayar uang kuliah dengan cara meminjam dari “lintah darat online”. Lalu apa guna dari KIP Kuliah itu ?

Begitu pula Kartu Prakerja, hanya memberikan keuntungan kepada aplikator dan vendor penyedia platform dan penyelenggara pelatihan. Peran Pemerintah sangat minim, semuanya diserahkan kepada peserta untuk memilih pelatihan apa yang diinginkan padahal tidak semua pelatihan itu dibutuhkan oleh Industri. Pemerintah tidak memberikan arahan terkait Industri apa saja yang menjadi unggulan dan kurikulum pengajaran apa yang dibutuhkan. Bisa jadi mungkin niatnya baik tapi tidak di-drive dengan tepat bahkan terkesan hanya berbisnis dengan rakyat. Jikalau seandainya program Kartu Prakerja ini adalah solusi dari masalah sulitnya lapangan kerja maka tentu tingkat pengangguran di 2024 ini sudah relatif berkurang, tapi fakta tidak demikian, berdasarkan data BPS Februari 2014 jumlah pengangguran terbuka adalah 7,14 juta orang dan di Februari 2024 jumlah pengangguran 7,19 juta, alhasil sepuluh tahun rezim Jokowi berkuasa dari 2014 s.d 2024 angka pengangguran cenderung berjalan ditempat.

Kesimpulan yang diperoleh dari point ini bahwa apa yang dilakukan oleh rezim berkuasa saat ini tidak berkorelasi dengan tujuan meningkatkan kualitas SDM apalagi mau menyaingi kecerdasan bangsa lain didunia. Ibarat mimpi disiang bolong.

  • Masyarakat Indonesia menjunjung tinggi pluralisme, berbudaya, religius dan menjunjung tinggi nilai nilai etika

Betapa mudah tangan Jokowi menulis point ini. Kita berprasangka baik, mungkin maksud Jokowi bahwa kewajiban untuk menjunjung tinggi nilai nilai etika hanya berlaku bagi masyarakat Indonesia dan tidak berlaku bagi diri dan keluarganya selaku penguasa rezim karena fakta yang terjadi beberapa tahun terakhir ini malah berseberangan secara diametral dengan tulisan tangannya sendiri;

Jelas sekali bahwa upaya menjunjung tinggi nilai etika di-negasikan oleh Jokowi melalui tindakannya yang secara terang terangan maupun “bawah tanah” menyalahgunakan kekuasaan memanfaatkan fasilitas dan sumber daya negara untuk melakukan intervensi terhadap lembaga-lembaga negara dan partai politik demi memuluskan anak kandungnya menjadi salah satu peserta dalam kontestasi pilpres.

Apa yang dilakukan Jokowi akan dijadikan yurisprudensi dimasa yang akan datang oleh pemimpin pemimpin berikutnya baik di pusat maupun daerah. Mereka akan menolak segala upaya koreksi terhadap perilaku Nepotisme yang dipraktekkan, karena toh Jokowi selaku pemimpin tertinggi negara sudah memberikan contoh untuk itu. Apabila kondisi seperti ini dibiarkan dan rakyat yang minim literasi menganggap sebagai hal yang wajar, maka bisa dibayangkan kondisi apa yang akan terjadi di tahun 2045. Kekuasaan hanya berputar pada segelintir orang, keluarga dan kroni. Merit sistem tidak lagi digunakan untuk menguji kapasitas, kredibilitas dan etikabilitas calon penguasa, akhirnya kualitas demokrasi akan semakin terpuruk. Aturan yang berlaku dalam ruang ruang politik adalah hukum rimba meskipun tampak dari luar adalah aturan hukum. Yang kuat akan menindas yang lemah.

  • Indonesia menjadi pusat pendidikan, teknologi dan peradaban dunia

Persoalan terkait pendidikan di Indonesia adalah sebagaimana telah disinggung diatas bahwa siswa siswa sekolah mengalami penurunan kemampuan literasi (membaca), numerasi (matematika) dan sains. Lantas apa solusi yang ditawarkan oleh Pemerintah cq. Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) untuk mengatasi masalah ini ? Ya benar. Nadiem Makarim selaku menteri pendidikan menyatakan dengan tegas bahwa “obat” dari persoalan ini adalah dengan mengganti kurikulum, sebagaimana saat ini dikenal dengan Kurikulum Merdeka atau disingkat “Kurma”. Sekedar informasi bahwa sejak orde lama sampai saat ini pendidikan di Indonesia sudah 11 (sebelas) kali mengalami pergantian kurikulum, tapi faktanya tidak mampu meningkatkan kualitas pendidikan yang dibuktikan melalui PISA tersebut.

Padahal OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) - yang mengukur capaian pendidikan suatu negara melalui tes yang nama PISA - tidak pernah merekomendasikan penggantian kurikulum sebagai solusi. OECD Justru merekomendasikan Penguatan Kapasitas dan Kompetensi guru dan ternyata bukan itu yang menjadi prioritas Pemerintah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun