Tulisan singkat ini merupakan suatu bentuk respon kritis terhadap pemberitaan yang mulai menghangat di media mengenai rencana rekrutmen Hakim Peradilan Umum, Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara yang akan kembali dilakukan dengan menggunakan pola yang mengacu pada ketentuan Undang Undang pra diterbitkannya tiga paket Undang Undang Peradilan (Undang Undang Nomor 49 Tahun 2009, UU Nomor 50 Tahun 2009 dan UU Nomor 51 Tahun 2009).
Pola rekrutmen akan kembali dilakukan dengan basis massa para pelamar umum, dimana para Calon Hakim yang terjaring seleksi terlebih dahulu berstatus sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), kemudian mereka akan mengikuti pendidikan hakim selama 2 (dua) tahun, yang lulus kemudian baru dilantik dan diangkat menjadi Hakim dan yang tidak lulus akan dikembalikan kepada Pemerintah.
Dari sistem atau pola rekrutmen yang akan digunakan tersebut, sepintas terlihat mengandung reduksi normatif (kalau tidak ingin dikatakan sebagai ketidak-konsistenan) terhadap ketentuan Undang Undang baru (Undang Undang Nomor 49 Tahun 2009, UU Nomor 50 Tahun 2009 dan UU Nomor 51 Tahun 2009) yang hanya mempersyaratkan tiga hal substansial yaitu : 1). usia antara 25 sampai dengan 40 tahun, 2). Sarjana Hukum dan 3). Lulus pendidikan Hakim, dan sama sekali tidak mempersyaratkan status awal calon hakim sebagai CPNS. Ketentuan Undang Undang yang baru sama sekali tidak mempersoalkan apakah calon hakim tersebut berstatus sebagai CPNS, PNS ataukah non-PNS.
Namun demikian, terlepas dari kebijakan yang mengandung reduksi normatif tersebut, inisiatif itu timbul akibat kelambanan Pemerintah Cq. Presiden R.I dalam mengeluarkan payung hukum terkait pembiayaan Calon hakim yang akan menempuh masa pendidikan. Tidak adanya nomenklatur Calon Pejabat Negara menjadi ganjalan sehingga Pemerintah Cq. Kementerian Keuangan tidak memiliki dasar hukum dalam melakukan pembiayaan tersebut. Sehingga pola seleksi Hakim yang mungkin saja sudah dikonsep dan disusun dengan rapi oleh KY dan MA menjadi tidak dapat terealisasi.
Patut dipahami dan disadari pula bahwa kondisi aktual Mahkamah Agung saat ini dibayang-bayangi oleh krisis hakim di tingkat pertama utamanya di daerah – daerah bagian Timur Indonesia yang jumlahnya memang masih sangat minim. Dampak paling nyata yang langsung dirasakan adalah proses penyelesaian perkara yang menyita waktu lebih lama serta energi yang jauh lebih besar. Sebagai contoh kongkrit misalnya di daerah Tolitoli yang hanya memiliki 5 (lima) orang hakim dengan jumlah perkara tidak kurang dari 150 perkara (pidana dan perdata) dalam setahun. Hal ini menyebabkan sidang yang terjadwal pada hari yang telah ditentukan harus mengantri karena Majelis Hakim yang menyidangkan perkara harus saling menunggu karena anggotanya atau Hakim Ketua Majelisnya masih bersidang dalam perkara yang lain. Belum lagi persoalan penyelesaian putusan dan minutasi perkara yang seolah kejar tayang harus diselesaikan oleh jumlah hakim termasuk panitera yang minim. Fakta-fakta inilah yang kemudian menjadi dasar pertimbangan mengapa sampai MA dan KY berinisiatif untuk melakukan rekrutmen Hakim dengan sistem yang sudah ketinggalan zaman dan tidak representatif.
Kelambanan Pemerintah Cq. Presiden R.I dalam merespon persoalan perekrutan hakim di pengadilan tingkat pertama, entah disebabkan karena hal ini tidak masuk dalam skala prioritas Pemerintah atau karena memang Pemerintah tidak memahami esensi dari Penegakan Hukum itu sendiri, sehingga terkesan Pemerintah Cq. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara bergampangan ketika menyarankan agar proses seleksi Hakim menggunakan pola penerimaan CPNS saja dan bukannya berinisiatif memediasi Pemerintah Cq. Presiden R.I untuk segera menerbitkan payung hukum yang dibutuhkan oleh MA dan KY dalam proses seleksi Hakim. Darimana argumentasi bahwa Pemerintah terkesan tidak memahami esensi penegakan hukum ?
Setiap orang yang bergelut di bidang hukum tentunya mengetahui persis bahwa Profesi Hakim adalah ujung tombak keadilan yang menempati posisi puncak dalam piramida penegakan hukum, melampaui Profesi Polisi, Jaksa, Advokat dan Panitera. Logikanya, dengan demikian Hakim harus memiliki pengalaman dan pengetahuan yang memadai di bidang hukum melampaui pengetahuan Polisi, Jaksa, Advokat dan Panitera. Disamping itu untuk dapat memahami secara komprehensif esensi dari penegakan hukum sebagai instrumen mewujudkan keadilan maka seorang Hakim idealnya harus mampu melihat proses penegakan hukum tersebut dari berbagai aspek dan sudut pandang. Kemampuan dan keahlian ini tentunya tidak diperoleh secara instan tapi harus melalui suatu proses belajar panjang.
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah mungkin posisi Hakim yang sedemikian sentral dan urgen itu diserahkan pada mereka yang masih “hijau” dalam proses penegakan hukum ? Kemudian apakah mungkin rentang waktu pendidikan hakim yang hanya 2 (dua) tahun bisa mematangkan mereka yang masih “hijau” tersebut sehingga bisa benar-benar siap menjalankan tugas memberi keadilan ?
Inilah yang menjadi kekhawatiran kita, bahwa Pemerintah terkesan mempersepsikan para Hakim Pengadilan Tingkat pertama sama dan tidak ada bedanya dengan para birokrat muda di berbagai instansi pemerintah. Padahal Hakim menurut ketentuan Undang Undang adalah Pejabat Negara yang statusnya tidak jauh berbeda dengan Hakim Agung dan Hakim Konstitusi. Pertanyaan selanjutnya yang timbul dalam benak kita adalah apakah mereka yang masih “hijau” tersebut (taruhlah mereka telah menjadi Hakim karena telah lulus menempuh pendidikan selama 2 (dua) tahun), kapasitas pengalaman dan pengetahuannya dapat disamakan dengan Para Hakim Agung dan Para Hakim Konstitusi yang nanti telah belajar, memahami dan meneliti hukum selama puluhan tahun baru dapat terpilih menjadi Hakim Agung dan Hakim Konstitusi ? Kalau jawabannya tidak (dan jelas memang tidak dapat disamakan) berarti Pemerintah tidak konsisten dan cenderung menerapkan standar ganda dalam menggunakan terma “pejabat negara”.
Kekhawatiran selanjutnya adalah tidak menutup kemungkinan para Hakim yang terjaring dan terdidik melalui pola pembinaan CPNS akan memiliki paradigma tak lebih dari para birokrat yang begitu kental dengan nuansa positivisme. Memang tidak salah, namun Hakim tidak identik dengan birokrat, sebab Hakim dalam kondisi-kondisi tertentu “Demi Keadilan” dapat menyimpangi hukum positif (ius contra legem), berbeda halnya dengan para birokrat yang seumur hidup menjadi birokrat harus tunduk dan patuh pada hukum positif (patere lege quam ipse feciste). Kalau para hakimnya semata berparadigma positivisme maka dalam menegakkan hukum mereka tentu tak ubahnya seperti corong undang-undang (la bouche de laloi), padahal mewujudkan keadilan yang merupakan tujuan penegakan hukum tidak identik dengan semata menegakkan Undang-Undang.
Kemudian paradigma positivisme juga tidak menutup kemungkinan akan melahirkan sosok hakim yang tidak percaya diri dalam mengambil keputusan-keputusan strategis. Sebagai contoh kongkrit misalnya dalam pelaksanaan eksekusi di Pengadilan-Pengadilan Tingkat pertama tidak jarang Ketua Pengadilan Negeri memohon petunjuk dan pendapat dari Pengadilan Tinggi atau bahkan Mahkamah Agung. Apakah ini tidak berarti tidak ada independensi dan kepercayaan diri dalam melakukan kewenangan dan kekuasaannya ?
Dari sudut pandang yang lain, jika argumentasi perekrutan Hakim melalui jalur CPNS menurut Pemerintah, MA dan KY adalah karena dibenarkan menurut Undang Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, maka apa bedanya dengan para Panitera, pegawai pengadilan, dan para Jaksa yang sudah terlebih dahulu berstatus sebagai ASN dan sudah pasti jauh lebih siap dan berpengalaman, bukankah dalam ketentuan Undang Undang tersebut dinyatakan bahwa “Pegawai ASN dapat menjadi hakim pada semua badan Peradilan kecuali hakim Ad hoc” (Pasal 121 Jo. Pasal 122 huruf e) “. Dan ketika misalnya Panitera, Pegawai Pengadilan dan Para Jaksa menjalani pendidikan hakim mereka dapat meletakkan jabatan tentunya dengan konsekuensi tidak menerima tunjangan jabatan fungsional tersebut dengan status tetap sebagai PNS/ASN. Lagipula menjadi lebih mudah bagi KY dan MA untuk melakukan penelusuran rekam jejak terhadap para Panitera, Pegawai Pengadilan dan Para Jaksa yang akan menjadi Hakim ini.
Bukankah ini lebih efisien, praktis dan presisi kelulusannya bisa jadi diatas 90 % karena mereka tentunya sudah jauh lebih mapan dan berpengalaman ketimbang melakukan perekrutan dengan pola CPNS yang berliku-liku dan memakan waktu yang lebih lama dan biaya yang lebih besar. Lagipula sebelum menempuh pendidikan hakim, CPNS yang bersangkutan terlebih dahulu harus menempuh diklat prajabatan. Sebab tidak ada klausul dalam UU ASN tersebut yang menyatakan bahwa CPNS dapat langsung menjadi Pejabat Negara yakni Hakim setelah lulus pendidikan hakim, yang ada adalah ASN yang dapat menjadi Hakim setelah lulus pendidikan Hakim. Dengan demikian Perekrutan hakim melalui jalur CPNS memakan waktu paling sedikit 3 (tiga) tahun sementara perekrutan hakim dari kalangan Para Panitera, Pegawai Pengadilan dan para Jaksa dan secara umum Pegawai ASN hanya membutuhkan waktu 2 (dua) tahun.
Jadi dari sisi efisiensi waktu dan biaya, kepraktisan, kemudahan penelusuran rekam jejak serta presisi kelulusan hendaknya pemerintah, MA dan KY mempertimbangkan kembali atau lebih baik membatalkan kebijakan untuk melakukan rekrutmen hakim melalui pola CPNS tersebut karena tidak efisien baik dari segi waktu maupun biaya.
Dengan demikian hendaknya Pemerintah, KY dan MA tidak memandang remeh persoalan perekrutan Hakim pada tingkat pertama ini dan tidak mereduksi tujuannya semata-mata untuk mengisi serta menutup defisit kuantitas hakim pada pengadilan – pengadilan tingkat pertama, tetapi lebih daripada itu perekrutan hakim hendaknya juga ditujukan untuk lebih menjadikan Mahkamah Agung sebagai Institusi yang kredibel dalam penegakan hukum melalui Hakim – Hakim yang berwibawa, bermoral serta memiliki kapasitas keilmuan yang memadai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H