Mohon tunggu...
Zulkifli Muhammad
Zulkifli Muhammad Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Just Ordinary People

Menulis untuk sebuah pembebasan...

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Mewujudkan Independensi Mahkamah Agung dalam Pengelolaan Sumber Daya Keuangan dan Manusia

20 Oktober 2014   17:25 Diperbarui: 8 Oktober 2024   13:54 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Mahkamah Agung sebagai salah satu Lembaga Negara yang kewenangannya diberikan langsung oleh UUD 1945, merupakan salah satu organ negara yang memiliki fungsi melaksanakan kekuasaan kehakiman dalam ranah Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer. UUD 1945 (Amandemen III) secara eksplisit menyebutkan dalam Pasal 24 ayat (1) bahwa Kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh Mahkamah Agung merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. 

Demikian pula dalam Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 Jo. Undang Undang Nomor 5 Tahun 2004 Jo. Undang Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung baik dalam konsideran maupun dalam penjelasan umum tegas disebutkan substansi dan ideal yang serupa bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu prinsip penting bagi Indonesia sebagai suatu negara hukum. Prinsip ini menghendaki kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak manapun dan dalam bentuk apapun, sehingga dalam menjalankan tugas dan kewajibannya ada jaminan ketidakberpihakan kekuasaan kehakiman kecuali terhadap hukum dan keadilan.

Selanjutnya, untuk mewujudkan Mahkamah Agung sebagai suatu kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam melaksanakan fungsinya, maka Mahkamah Agung harus menjadi sebuah institusi yang mandiri, terlepas dari intervensi kekuasaan eksekutif. Politik hukum ini selanjutnya dituangkan secara normatif melalui Undang Undang Nomor 35 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang substansinya adalah penyatuatapan (one roof system) 4 lingkungan peradilan  yang terdiri atas peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara dan peradilan militer di bawah Mahkamah Agung. UU Nomor 35 Tahun 1999 adalah payung hukum sekaligus tonggak momentum transisi yang menandai pengalihan organisasi, administrasi dan finansial dari Departemen Kehakiman ke Mahkamah Agung R.I. Akhirnya dengan terbitnya Undang Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah Agung secara yuridis formal telah menjadi sebuah institusi yang merdeka dan mandiri dalam melaksanakan fungsinya menjalankan kekuasaan kehakiman.

Dalam berbagai aturan dan ketentuan normatif tersebut, patut digarisbawahi dua terma penting yaitu “merdeka” dan “mandiri”. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terdapat beberapa pengertian “merdeka” yaitu : bebas; berdiri sendiri; tidak terikat atau tergantung pada pihak tertentu; leluasa. Pengertian ini hampir senada dengan “independen” yang bermakna : berdiri sendiri; berjiwa bebas; tidak terikat pada pihak lain. Adapun “mandiri” adalah keadaan dapat berdiri sendiri; tidak bergantung pada orang lain.

Menurut Prof. Andi Hamzah dan Prof. Paulus Efendi Lotulung, “merdeka” adalah suatu terma yang ekuivalen dengan “independen”. Merdeka atau independen di dalam memutus perkara berarti bebas dari pengaruh eksekutif maupun segala kekuasaan negara lainnya dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak-pihak ekstra judisial, kecuali dalam hal-hal yang diizinkan oleh Undang Undang. Adapun mandiri berarti berada di bawah atap sendiri tidak berada di bawah atap departemen atau badan lain.

Dalam menjalankan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri tersebut, maka yang memiliki peranan sentral sebagai simbol sekaligus ujung tombak penegakan hukum dan keadilan tentunya adalah para hakim, baik di tingkat kasasi, banding maupun tingkat pertama melalui putusan – putusannya. Namun, satu hal yang tidak boleh luput untuk dicermati bahwa putusan - putusan tersebut tidak jatuh dari langit begitu saja, dimana setiap pihak yang berperkara dapat langsung memperoleh keadilan yang diharapkan atau setiap perkara yang diajukan dapat seketika itu diputus oleh Hakim. Putusan Hakim adalah produk akhir dari suatu proses peradilan yang terjalin dalam suatu mata rantai padu.

Putusan Hakim harus didasarkan pada fakta – fakta yang terungkap di persidangan, dimana fakta – fakta ini dituangkan dalam sebuah Akta Otentik berupa Berita Acara Persidangan yang dibuat oleh Panitera Pengganti diatas kekuatan sumpah jabatan. Hakim dan Panitera Pengganti tidak dapat melakukan persidangan bila tidak ada legalitas berupa penunjukan sebagai Majelis dan Panitera Pengganti oleh Ketua Pengadilan dan Panitera/Sekretaris. Ketua Pengadilan dan Panitera/Sekretaris tidak bisa melakukan Penunjukan Majelis Hakim dan Panitera Pengganti bila segala kelengkapan administrasi persidangan tidak dibuat dan diselesaikan oleh Kepaniteraan. Kepaniteraan tidak dapat berfungsi tanpa dukungan dari unsur Kesekretariatan dalam hal pengerahan Sumber Daya Manusia maupun keuangan.

Dengan demikian, independensi, kemerdekaan serta kemandirian menjalankan kekuasaan kehakiman dalam menegakkan hukum dan keadilan semestinya dipahami secara holistik dalam konteks Mahkamah Agung secara kelembagaan, bukan semata dalam konteks kemandirian hakim dalam memutus perkara, karena hakim tidak dapat menjalankan fungsinya tanpa dukungan sumber daya kepaniteraan dan kesekretariatan. Perspektif ideal yang semestinya digunakan dalam memotret Mahkamah Agung haruslah dilihat dalam suatu kerangka sistem yang utuh. Hakim, Panitera, Kepaniteraan dan Kesekretariatan adalah sub – sub sistem yang memiliki peranan masing-masing dan saling bersinergi dalam upaya penegakan hukum dan keadilan. Independensi Mahkamah Agung secara kelembagaan juga melazimkan kewenangan dan keleluasaan penuh dalam hal perumusan kebijakan anggaran, pengalokasian serta pengerahan sumber daya.

Asumsi yang timbul kemudian adalah, sejauh mana independensi dan kemandirian Mahkamah Agung secara kelembagaan telah terealisasi? Tidak dipungkiri bahwa Mahkamah Agung selama kurang lebih satu dekade telah mengalami pembaruan menjadi sebuah lembaga yang mandiri dalam konteks organisasi dan administrasi. Namun bila dicermati lebih jauh, kenyataannya Mahkamah Agung hingga saat ini belum sepenuhnya leluasa dan terlepas dari campur tangan pihak lain utamanya eksekutif dalam hal penentuan kebijakan pengelolaan Sumber Daya Keuangan dan Sumber Daya Manusia badan peradilan.

KETIDAK-MERDEKA-AN DALAM PENGELOLAAN ANGGARAN

Dalam Pasal 81A Undang Undang Nomor 3 Tahun 2009 memang ditegaskan bahwa Anggaran Mahkamah Agung dibebankan pada mata anggaran tersendiri dalam APBN, namun tidak ada ketentuan lebih lanjut mengenai berapa besar persentase anggaran APBN yang dialokasikan untuk Mahkamah Agung sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman tersebut. Praktik yang terpola selama ini bahwa Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang ada dibawahnya memperoleh anggaran didasarkan pada PAGU yang ditetapkan sepihak oleh Pemerintah tanpa dikonsultasikan lebih dulu, sehingga anggaran yang diusulkan Badan Peradilan tidak dapat dipenuhi secara optimal. Demikian pula kebijakan serta pengesahan pedoman pelaksanaan anggaran seluruh K/L termasuk Mahkamah Agung sepenuhnya dikendalikan eksekutif cq. Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Ketidak-merdeka-an Mahkamah Agung dari intervensi eksekutif dapat dicontohkan secara kongkret misalnya ketika Presiden berinisiatif melakukan penghematan anggaran K/L, maka melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2014 dilakukan pemotongan terhadap anggaran 86 K/L termasuk di dalamnya adalah Mahkamah Agung sejumlah kurang lebih 13 % dari total anggaran semula. 

Yang ingin digaris bawahi disini, bahwa ternyata terjadi ketidaksinkronan antara ideal (UUD 1945 dan Peraturan Perundang Undangan terkait) dan kenyataan. Bahwa Mahkamah Agung dikatakan mandiri dan independen, namun ternyata Presiden dapat dengan mudahnya memangkas anggaran Mahkamah Agung cukup dengan mengeluarkan Inpres. Pertanyaannya adalah apakah rutinitas normatif yang terjadi ini masih sejalan dengan prinsip trias politica yang dianut, dimana eksekutif, legislatif dan yudikatif berdiri setara dan sejajar ?

KETIDAK–MERDEKA-AN DALAM PENGELOLAAN SDM

Terkait dengan pengelolaan sumber daya manusia badan peradilan, Mahkamah Agung tidak memiliki keleluasaan dalam merumuskan kebijakan pengelolaan SDM-nya sendiri. Padahal jika seandainya kewenangan serta keleluasaan itu ada, maka persoalan yang membelit internal Mahkamah Agung saat ini khususnya berkaitan dengan dilema status jabatan Hakim (Banding dan Tingkat Pertama), Jabatan Kepaniteraan dan Jabatan Kesekretariatan tidak perlu terjadi.

Hakim Pengadilan Tinggi dan Hakim Pengadilan Tingkat Pertama adalah Pejabat Negara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 dan Pasal 31 Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan juga dalam Pasal 122 huruf e Undang Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. 

Selaku pejabat negara hakim diangkat atau dipilih (secara tidak langsung) karena pertimbangan yang bersifat politik (political appointment) dalam rangka pelaksanaan prinsip kedaulatan rakyat yaitu menyelenggarakan kekuasaan kehakiman. Kedudukan Hakim selaku pejabat negara harus dibedakan dengan Pegawai Negeri Sipil atau Pejabat Negeri yang diangkat murni karena alasan yang bersifat administratif (administrative appointment) baik dalam jabatan struktural maupun fungsional.

Dengan demikian tugas dan tanggung jawab hakim bukanlah dalam hal yang bersifat administratif, melainkan dalam hal yang berkaitan dengan pelaksanaan salah satu prinsip kedaulatan rakyat, menegakkan hukum dan keadilan yang jauh melampaui hal-hal yang sekedar bersifat administratif. Hakim selaku pejabat negara memiliki kekuasaan dan imunitas dalam menjalankan kewajibannya tersebut, dan dalam keadaan tertentu hakim dibenarkan melakukan rule breaking menyimpangi hukum positif demi menegakkan keadilan (ius contra legem).

Berbeda halnya dengan pegawai negeri yang menduduki jabatan-jabatan struktural dan fungsional dalam menjalankan tugas – tugas administrasi. Mereka terikat pada ketentuan peraturan perundang – undangan serta prosedur baku yang rigid, sama sekali tidak dibenarkan menyimpangi aturan-aturan tersebut sesuai dengan asas bahwa otoritas administrasi tidak dapat bertindak di luar daripada peraturan yang sudah ditetapkan (patere lege quam ipse fecisti) dalam hukum positif. Jika mereka hendak bertindak menyimpang dari peraturan yang sudah ada maka peraturan tersebut harus diubah terlebih dahulu.

Persoalannya, hakim selaku pejabat negara ternyata juga diposisikan dalam jabatan – jabatan struktural maupun fungsional pada Kepaniteraan dan Kesekretariatan Mahkamah Agung, hakim diserahi tanggung jawab terhadap hal-hal yang bersifat administratif. Disatu sisi hal ini berarti hakim akan kehilangan kekuasaan dan imunitasnya selaku pejabat negara karena harus tunduk serta terikat pada beragam aturan dan prosedur administratif. Namun disisi lain, status hakim (banding dan tingkat pertama) juga hingga saat ini masih dilematis, dikatakan sebagai pejabat negara, tapi memiliki identitas layaknya pegawai negeri sipil, memiliki Nomor Induk Pegawai (NIP) demikian pula jenjang kepangkatan dan golongannya identik dengan tenaga fungsional pada umumnya. Dari sisi ini, secara logika dan akal sehat tentu hakim tidak ada beda dengan non hakim, sama – sama sebagai “eksekutif yang berbaju yudikatif” (meminjam istilah pemohon uji materi PP Nomor 36 Tahun 2011).

Karena tidak adanya kepastian hukum menyangkut status hakim sebagai pejabat negara ataukah sebagai pejabat fungsional (baca : PNS), sehingga kemudian menimbulkan kerancuan pemahaman dalam menentukan status hakim (banding dan tingkat pertama). Kemungkinan hal ini adalah argumentasi paling logis mengapa hakim masih diangkat dalam jabatan-jabatan struktural dan fungsional pada Mahkamah Agung. 

Karena tidak ada penyelesaian yang jelas, akhirnya persoalan ini memicu polarisasi serta perang opini pada level bawah (Pengadilan Tingkat Banding dan Pengadilan Tingkat Pertama) antara hakim selaku pejabat negara dan non hakim selaku pejabat struktural dan fungsional. “Non Hakim” memiliki argumentasi sebagaimana disebutkan dimuka bahwa Hakim adalah pejabat negara sehingga tidak selayaknya diserahi tanggungjawab yang bersifat administratif karena tidak sejalan dengan kekuasaan, imunitas serta hak eksklusif yang dimilikinya.

Adapun “Hakim” memiliki argumentasi bahwa idealnya yang seharusnya menduduki posisi dan jabatan strategis baik di Kepaniteraan maupun di Kesekretariatan adalah Hakim, adapun non hakim hanyalah suporting unit yang membantu tugas-tugas hakim dan harus puas dan legowo pada posisi dan kedudukan sebagai “pembantu”. Hakim juga tidak akan pernah dan mau dipimpin oleh “non hakim”. Meskipun kenyataannya sampai hari ini tidak pernah ada sejarahnya “non hakim” yang duduk pada posisi strategis baik di Kepaniteraan dan Kesekretariatan MA, bahkan seluruh jabatan Direktur Jenderal pada Kesekretariatan MA sampai Panitera Pengganti pada Mahkamah Agung diduduki oleh Hakim. Jadi apa yang sebenarnya menjadi alasan segelintir orang yang begitu ambisius memperjuangkan jabatan struktural dan fungsional pada Mahkamah Agung harus diduduki oleh Hakim, masih kabur dan tidak jelas maksudnya.

UPAYA MEWUJUDKAN INDEPENDENSI MAHKAMAH AGUNG

Tanpa ingin membuka ruang perdebatan yang jauh lebih rumit. Dalam hal ini tidak ada pihak yang perlu disalahkan baik “hakim” maupun “non hakim”, karena masing-masing memiliki argumentasi pembenarnya sendiri-sendiri yang sayangnya bertitiktolak dari kegagalan dalam mengindentifikasi persoalan sebenarnya yang dihadapi Mahkamah Agung, yaitu tidak adanya keleluasaan dalam merumuskan kebijakan mengenai Sumber Daya Manusia-nya sendiri, termasuk di dalamnya “hakim” dan “non hakim”.

Seandainya Mahkamah Agung memiliki keleluasaan tersebut, maka bisa saja dan tidak menutup kemungkinan Mahkamah Agung dapat membuat ketentuan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) mengenai Jabatan – Jabatan tertentu yang harus diduduki oleh Hakim dalam statusnya sebagai pejabat negara sehingga Mahkamah Agung tidak perlu terikat dan dibenturkan pada ketentuan normatif dari pihak eksekutif berkaitan dengan Jabatan Struktural atau Fungsional. Mahkamah Agung dengan keleluasaan dalam merumuskan kebijakan anggaran, dapat menjadi lebih mudah untuk menjalankan amanat undang undang merealisasikan hak dan fasilitas hakim di tingkat banding dan tingkat pertama. Demikian pula Mahkamah Agung dapat membuat ketentuan mengenai mekanisme optimalisasi Sumber Daya Manusia Peradilan yang diperlukan dalam mendukung pelaksanaan kekuasaan kehakiman termasuk di dalamnya merumuskan pola rekruitmen hakim dari kalangan internal dan eksternal yang dilakukan secara transparan dan akuntabel. 

Hal ini tentunya tidak mustahil dilakukan, karena pada prakteknya sudah ada institusi yang benar-benar mandiri dan independen dalam merumuskan kebijakan yang berkaitan dengan sumber daya keuangan maupun SDM-nya, yaitu Bank Indonesia. Undang Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, memberikan payung hukum bahwa Dewan Gubernur berwenang menetapkan Peraturan Kepegawaian, sistem penggajian, penghargaan, pensiun dan tunjangan hari tua, serta penghasilan lainnya bagi pegawai Bank Indonesia (Pasal 44 ayat 2). Dewan Gubernur juga memiliki kewenangan menetapkan anggaran tahunan Bank Indonesia yang harus disampaikan kepada Dewan perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah (Pasal 60).

Jika Bank Indonesia saja yang bukan termasuk lembaga yang kewenangannya diberikan langsung oleh konstitusi bisa memiliki keleluasaan dalam merumuskan serta mengelola sumber dayanya, maka logikanya seharusnya Mahkamah Agung sebagai lembaga negara organik yang “mandiri” dan “merdeka” tentunya lebih berhak memperoleh kewenangan tersebut. Sebagai pelaksana prinsip kedaulatan rakyat menegakkan hukum dan keadilan, pertanggung jawaban anggaran Mahkamah Agung harusnya kepada rakyat melalui Dewan Perwakilan Rakyat dan bukan kepada Pemerintah Cq. Menteri Keuangan.

Persoalan inilah yang seharusnya mendapat perhatian khusus oleh seluruh elemen dan stackholder Mahkamah Agung termasuk di dalamnya Hakim dan pejabat struktural serta fungsional dari unsur Kepaniteraan maupun Kesekretariatan badan peradilan yang ada dibawahnya untuk menyatukan persepsi dan energi memperjuangkan Mahkamah Agung sebagai institusi yang merdeka dan mandiri, dan bukan malah terjebak dalam dialektika perdebatan yang tidak konstruktif dan tidak produktif hanya meributkan “siapa” yang berhak menduduki jabatan “apa”. 

Banyak persoalan yang mesti segera dicarikan solusi, termasuk hak-hak eksklusif hakim yang dijamin undang undang berupa penegasan status hakim sebagai pejabat negara, kedudukan protokeler, pengamanan dalam melaksanakan tugas, kendaraan dinas, rumah jabatan perlu didorong secara massif agar segera dapat terealisasi. Kompensasi finansial yang diterima oleh Hakim pun saat ini ke depan perlu ditinjau kembali, sebagai ilustrasi disalah satu negara bagian Amerika serikat (Baltimore, Maryland) perbandingan gaji (salary) hakim (judge) dan panitera (court of clerk) itu mencapai rasio perbandingan 1 : 6 (panitera USD 2.033, hakim USD 12.551). Kalau menggunakan perbandingan ini, berarti hakim tingkat pertama idealnya menerima gaji 6 kali lipat lebih besar dari panitera.

Demikian pula yang tak kalah pentingnya status jabatan kepaniteraan sebagai jabatan fungsional yang hingga saat ini belum menemui titik terang perlu untuk segera dicarikan solusinya agar tidak ada pejabat fungsional kepaniteraan yang dirugikan jenjang karirnya karena ketidakjelasan status jabatan kepaniteraan ini. Idealnya ke depan Panitera Pengganti dapat memiliki jenjang karirnya sendiri sebagaimana jabatan fungsional pada umumnya.

 Sebagai penegasan kembali sekaligus penutup dalam tulisan singkat ini, maka untuk mewujudkan Mahkamah Agung sebagai institusi yang benar – benar mandiri dan independen, perlu ada kesamaan persepsi dan soliditas diantara seluruh elemen Mahkamah Agung mulai dari tingkat pusat sampai pada satuan – satuan kerja yang ada di daerah – daerah agar gerakan perubahan dapat dilakukan secara massif, terencana dan berkelanjutan. Kini saatnya menyatukan langkah dan meninggalkan perbedaan....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun