Mohon tunggu...
Muharroni S. Pd
Muharroni S. Pd Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

mahasiswa program pascasarjana, universitas pendidikan sultan idris, institut peradaban melayu, pengkajian sastra melayu. dosen sastra melayu, universitas maritim raja lai haji, fakultas keguruan dan ilmu pendidikan, prodi pendidikan bahasa dan sastra indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Memelayukan Melayu

8 Oktober 2013   18:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:48 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dibalik Seminar Tamadun Alam Melayu – Perhelatan Tamadun Melayu I di Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau : Me-Melayukan Melayu

Sempena perhelatan tamadun Melayu I di Provinsi Kepulauan Riau 27—29 September 2013, dinas Pariwisata Provinsi Kepulauan Riau juga mengadakan seminar Sejarah dan Tamadun Melayu di Hotel Aston, 28-29 September 2013.

Dalam seminar tersebut hadir pemakalah dari dalam dan luar negeri yang mengupas tentang keMelayuan. Dari dalam negeri (Indonesia) hadir sebagai pemakalah diantaranya: Prof. Dr. Mahsun MS., Drs. Agus Sarjono., M. Hum., Drs. Jamal D Rahman, M. Hum. (Pemimpin Redaksi Majalah Sastra Horison, Jakarta), Bastian Zulyeno, Ph. D (Dosen Bahasa dan Sastra Persia, Universitas Indonesia, Jakarta)., Dr. Jajat Burhanudin (Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta)., Prof. Dr. Susanto Zuhdi (Universitas Indonesia, Jakarta)., Dr. Musadun (Universitas Dipanegoro, Semarang)., Dr. Suhardi Mukhlis (STISIPOL Raja Haji, Tanjungpinang)., Drs. Muchid Al Bintani M. Pil (Dosen Fisipol, Universitas Riau, Pekanbaru)., Dr. Rizaldi Siagian (Etnomusikologi, Universitas Sumatera Utara, Medan)., Dr. Heriyanti Untoro., MA (Universitas Indonesia, Jakarta); dari luar negeri hadir pemakalahBerthold Damshauser (universitat Bonn, Institut fur Orient-und Asienwissench, Jerman)., Dr. Viviane Wee (Institute of Southeasn Asian Studies)., Prof. Dr. Margaret Kartomi (Monash University, Australia)., Dr. Karen Kartomi (Monash University, Australia).

Sebagai salah satu peserta dari lebih kurang 150 orang yang hadir, penulis merasa takjub bercampur bangga namun juga merasa sedih bercampur haru dendam dan kecewa.

Takjub bercampur bangga karena bangsa Melayu yang besar menjadi begitu besarnya tatkala melihat, mendengar dan menyimak pemaparan pemakalah dari luar negeri sedang menyampaikan hasil kajiannya tentag Melayu. Sebegitu besar perhatian yang mereka berikan kepada budaya Melayu. Sebut saja prof Kartomi, ia melakukan penelitian bersama suaminya dari tahun 1980 hingga sekarang untuk mengkaji tentang alat musik tradisional Melayu. Begitu lengkap kajian itu, hingga membuat peserta seminar terkagum-kagum, bahkan sebgaian dari peserta menganga kala mendengar hasil rekaman (dokumentasi) musiknya. Belum lagi Prof Karen Kartomi (anak dari Margaret Kartomi) memaparkan tentang teater tradisional Mendu Natuna. Begitu lengkap makalah yang dipaparkannya. Dua orang ini dapatlah kita masukkan ke adalam orang-orang asing yang peduli tentang Melayu, dan sebagai orang Melayu bolehlah merasa bangga, karena budayanya menarik perhatian bangsa asing.

Selari dengan rasa bangga itu, muncul juga rasa sedih, haru, dan kecewa. Kenapa? Pertama, karena tak satupun pemakalah yang membentangkan makalah budaya Melayu dalam seminar akbar itu berasal dari tanah asal budaya Melayu itu sendiri. Seharusnya, jika berbicara tentang mendu, tentulah orang Natuna yang duduk sebagai pemakalah, jika bicara tentang sejarah Hulu Riau dan Pulau Penyengat seharusnya orang Tanjungpinang-lah (penyengat) yag duduk sebagai pemakalah, karena seharusnya orang asal budaya dan sejarah itulah yang tahu betul tentang daerahnya. Tapi kenapa yang berbicara justru orang yang jauh dari negeri asal budaya dan sejarah itu? Kemana orang tempatan? Takkanlah Pandai budak putih pulak bercakap pasal Melayu.

Penulis menangkap kejanggalan ini disebabkan tidak adanya orang Tanjungpinang yang mampu membuat makalah ilmiah dan tidak adanya orang Melayu asal yang memiliki bukti konkit kebudayaan apatah lagi jika dihubungkan dengan latar pendidikan yang berkompeten.

Jika ditelusuri lebih jauh kepada orang-orang Melayu tempatan akan berhujung dengan “Halah, aku bukan tak bise, cume malas je” atau “halah, bukan betol sangat budak puteh tu becakap” atau “halah, gaye je tu”. Kalaulah konsep keMelayuan seperti ini yang tertanam, maka akan mengecil-lah Melayu yang besar.

Yang menyebabkan hati ni geram dan kecewa yang kedua adalah mendengar apa yang dipaparkan Vivian Wee, sejarahwan dari Singapura, yang mengatakan bahawa perkembangan kerajaan Riau Lingga Johor yang kemudian terpecah dalam tiga negara Singapura, Malaysia,dan Indonesia menghasilkantriangle pembangunan yang berbeda. Singapura memiliki komoditi modal dan tenaga ahli, Malaysia memiliki tanah dan tenaga semi ahli, sedangkan indonesia memiliki tanah dan tenaga Kasar.

Layaknya petir menyambar di tengah hari. Indonesia yang memiliki kekayaan alam dan sumber daya manusia lebih banyak, tapi hanya bisa mengandalkan tanah dan tenaga kasar. Nampak betul Melayu (indonesia) ni bodoh. Betulkah orang “kita” ni bodoh?

Jika dilihat berdasarkan sejarah, tidak pantas “kita” ni disebut bodoh. Pasalnya, di tanah kita inilah lahir cendikiawan-cendikiawan cerdas yang membangun negeri. Namun, jika dilihat keadaan yang terjadi sekarang, mungkin benarlah kita ni bodoh. Bodoh karena tidak menghargai sejarah dan budaya sendiri, bodoh karena menjual bauksit hingga memusnahkan alam sendiri, bodoh karena karena memang dibodoh-bodohkan; karena bodoh itu pula-lah tak bisa jadi pemakalah. Ya, manalah mungkin orang bodoh nak berbagi ilmu.

Ini haruslah menjadi PR bagi orang Melayu, yaitu bagaimana bisa meMelayukan Melayu di tanah sendiri. Artinya, oarang Melayu Kepulauan Riau haruslah menjadi pakar di tanahnya sendiri. Langkah konkrit untuk meMelayukan Melayu harus segera dimulai, sebelum arus budaya barat menggerus lebih parah lagi.

Konsep me-Melayukan Melayu diharapkan dapat dimulai dari kabupaten / kota yang ada di Provinsi Kepulauan Riau, dengan istilah Me-nanjungpinangkan Tanjungpinang, me-Batamkan Batam, Meng-Anambaskan Anambas, Me-Natunakan Natuna, Me-Bintankan Bintan, MemBalaikan Tanjung Balai karimun, dan Me-Linggakan Lingga. Artinya, setiap daerah melalui pemerintah masing-masing kabupaten/kota mulai memfasilitasi masyarakat tempatan (khususnya generasi yang peduli) untuk menulis, meneliti, hingga mempublikasikan budaya dan sejarah tempatan dalam satu kajian yang bersifat ilmiah, bukan lagi sesuatu yang hanya berdasarkan cerita rakyat tanpa bisa dibuktikan secara empirik. Jika tercapai, maka Perhelatan Tamadun Melayu II (jikalau ada), Pemakalah dalam Seminar Melayu akan terdiri dari orang-orang lokal tempatan yang benar-benar Melayu, lalu pemakalah-pemakalah “luar” yang pada seminar lalu menjadi pemakalah, duduklah di kursi peserta.

Muharroni - Tanjungpinang

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun