Mohon tunggu...
Muharroni S. Pd
Muharroni S. Pd Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

mahasiswa program pascasarjana, universitas pendidikan sultan idris, institut peradaban melayu, pengkajian sastra melayu. dosen sastra melayu, universitas maritim raja lai haji, fakultas keguruan dan ilmu pendidikan, prodi pendidikan bahasa dan sastra indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pejabat Kapal Pukat

22 Oktober 2013   22:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:09 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pukat merupakan sejenis alat jaring yang digunakan nelayan untuk menangkap ikan. Untuk mengoperasikan pukat, ddiperlukan dua kapal sebagai penarik jaring. Dengan batas yang telah ditentukan, kapal mulai menebar jaring, lalu jaring yang telah ditebar ditarik ujung dengan kapal. Pukat yang ditarik akan menjaring ikan sepanjang jalan yang dilaluinya.

Setelah dianggap “cukup”, jaring diangkat naik ke kapal, dan mulailah para pekerja melepaskan ikan yang tertangkap. Segala jenis ikan ada, dan segala ukuran pun ada. Namun biasanya juga terjadi proses seleksi. Ikan yang dianggap “tidak berharga”, dibuang kembali ke laut.

Perkembangan zaman dan teknologi dalam penangkapan ikan berkembang, dari alat konvensional hingga ke alat modern. Perkembangan ini berbanding lurus dengan teknik korupsi yang dilakukan pejabat. Dalam hal ini penulis menjulukinya pejabat kapal pukat.

Bergantinya zaman, dari orba ke reformasi, memengaruhi perilaku pejabat negara. Kepemimpinan orba yang otoriter menyebabkan pejabat negara tidak mampu atau tidak berani melakukan hal yang “aneh-aneh”, dalam teknik menangkap ikan, penulis menanalogikannya kala itu pejabat masih memakai alat pancing konvensional, dalam artian dapat satu atau dua ikan ya sudah alhamdulilah, walau bahkan sering kali tak dapat, sangat bergantung nasib. Biasanya yang dipancing ikan bulus-bulus atau ikan kecil-kecil yang hidup di pesisir. Jaring yang dipakai-pun masih jaring pantai, tertuju ke ikan-ikan di pesisir pantai, yang pada dasarnya ikan-ikan kecil (belanak atau kekek).

Tapi sekarang, joran pancing ikan bulus-bulus dan jaring belanak atau kekek tak lagi digunakan. Tempatnya pun tidak lagi di pesisir, tapi sudah jauh ke tengah. Tak ada pula orang yang tahu kapan kapal berangkat ke tengah laut, begitu juga kapan kapal akan kembali. Untuk mencapai targetnya pun, tidak bisa dilakukan sendiri, melainkan harus berkawan, dalam artian ini, pejabat sesama pejabat melakukan deal-deal yang tidak diketahui masyarakat ditengah laut.

Fenomena ini terjadi dengan beberapa pejabat negara, lihat contoh Nazarudin, bendahara partai Demokkrat, tertangkap tangan sedang memukat ikan bersama Angelina Sondakh, Anas urbaningrum, dan Andi Malaranggeng. Atau ada beberapa pejabat lagi yang tertangkap memukat, misalnya, pejabat simulator SIM, Presiden PKS, hingga yang terbaru Ketua Mahkamah Konstitusi.

Jika dilihat hasil tangkapannya yang begitu besar, sudah pasti jaring pukatlah yang mereka gunakan. Jaring pukat yang menyapu habis apa saja yang bisa disapu. Dalam kata lain, ranah kewenangan dijadikan laluan menjaring. Setelah jaring diangkat, barulah proses seleksi dilakukan, dengan membuang “ikan” yang kecil.

Dari sisi lain, penggunaan pukat yang sudah tentu tidak bisa dilakukan dengan satu kapal, pasti melibatkan kapal lain yag sama besar. Artinya, penulis melihat, Akil Muktar tidak mungkin kerja sendiri, atau jika dilihat dari kasus Gayus, tidak mungkin Gayus bisa memukat sendiri. Pertanyaannya, siapakah nakhoda kapal yang menarik ujung pukat yang ditarik Gayus? Wallahualam.

Gencarnya penangkapan pemukat ditengah laut seolah-olah memberi ruang kosong di pesisir pantai. Wilayah pesisir seperti tidak lagi di monitor, karena penangkap kapal pukat fokus di tengah laut, menangkap kapal dengan daya tangkap besar, dan apa yang terjadi di pesisir pantai? Jongkong-pun menarik pukat.

Sungguh fenomena yang mengesankan. Karena khawatir ditangkap, pejabat kapal pukat beralih ke daerah laut yang dangkal di pesisir. Filosofi yang terlihat dari fenomena ini adalah biarlah dapat ikan kecil, asal tak ada yang menangkap. Ikan kecil-kecil pun, jika rutin dapatnya, lumayan juga.

Pejabat kapal pukat // ada kesempatan sikat // besar kecil kan lewat // kalau ada yang lihat // cepat diikat // komisi per kerat // tak peduli dengan akhirat // yang penting dunia selamat.

Ketika mulai tercium // mulai menebar senyum // atur langkah di depan umum // pasang image seolah belum.

Pejabat ya pejabat // tak sedikit yang beradat // banyak juga yang keparat // tak peduli dengan masyarakat // yang penting keluarga sehat // yang macam gini harus dibabat.

Pejabat kapal pukat // selalu merasa hebat // walaupun hari-hari shalat // tetap saja hatinya bejat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun