Beberapa waktu saya hidup dengan pikiran ngawang, hidup dengan adaptasi minimalis yang sama sekali jauh dari kata bijaksana. Sering tak hirau kepada seseorang yang mengajarkan banyak hal tentang kehidupan. Sampai dia membuka mulut tentang masa kecil nan suram sejak terbitnya fajar. Sungguh ironi dramatik.
Dia sering kali memamerkan masa remaja yang kalut dengan meninggalkan rasa malu untuk menghibur banyak orang. Dia menganggap hal seperti itu balas dendam. Ya! Balas dendam untuk masa kecil yang kurang kasih sayang dari seorang ibu.
Bayi mungil yang tumbuh apa adanya hingga sekarang menjadi pria jantan, segala kekurangan di masa lalu membuatnya semangat melangkah di atas jalan tak berujung. Ia bangga dengan itu semua, ia sama sekali tak menyalahkan Tuhan atas penderitaannya. Ia hanya tak acuh dengan segala bencana, ia yakin bahwa Tuhan maha pengasih dan penyayang.
Saya mencoba lebih bijaksana dalam menyikapi semua hal. Tak lantas menghakimi bahwa ia sangat benar atau sebaliknya. Semua orang berhak memilih jalan untuk sampai tujuan. Mungkin pepatah yang pantas untuk pengalaman saya adalah "tak kenal maka tak sayang."Â
Setidaknya kita bisa berdaulat dengan diri sendiri. Tak banyak meniru orang di televisi yang hidup dengan kemewahan. Bijaksana kepada segala hal yang datang kepada kita.
"Selama kaki belum njarem, tak menjadi masalah jika kita terus melangkah di atas jalan tak berujung. Keindahan akan datang jika kita pandai menikmati segala anugerah atau bahkan musibah."
Seperti orang dewasa pada umumnya, ia sekarang sibuk mempersiapkan kekasih untuk dipinang. Dan tak lama lagi ia akan menikahi seorang gadis yang umurnya sangat jauh lebih muda saat matahri mulai tenggelam.
Denpasar, 14 Februari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H