Mohon tunggu...
Muharika Adi Wiraputra
Muharika Adi Wiraputra Mohon Tunggu... Lainnya - Rakyat Jejaka

memayu hayuning bawana

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

"Mencari Diri" Petualangan Sejati Menjadi Manusia

18 Desember 2024   06:00 Diperbarui: 18 Desember 2024   00:45 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
seseorang yang merenung di depan cermin, simbol dari pencarian jati diri dan makna kehidupan. AIlustrasi. Dokpri

Siapa sejatinya manusia

Disaat kamu berdiri di depan cermin, menatap bayanganmu sendiri, wajah yang mungkin tampak baik-baik saja, rambut yang tertata rapi atau berantakan, dengan pakaian yang kamu suka. Tapi jauh di lubuk hati, pernahkah muncul pertanyaan sederhana namun mengguncang, “Siapa aku? Untuk apa aku ada di sini?”

Pertanyaan ini mungkin terdengar sederhana, tapi jawabannya bisa berputar-putar tanpa ujung. Seperti labirin yang kita tempuh seumur hidup, mencoba menemukan pintu keluar yang disebut “makna.” Siapapun kita muda atau tua, kaya atau miskin, pertanyaan ini mungkin pernah singgah. Dan jawabannya? Bukan teka-teki yang bisa dipecahkan orang lain, melainkan sebuah perjalanan pribadi yang mesti kita jalani sendiri.

Kita, manusia, adalah makhluk yang ajaib sekaligus membingungkan. Kita bukan sekadar tubuh fisik yang tampak di cermin. Ada lebih dari itu rasa yang hanya kita yang tahu. Kadang kita merasa kosong, meski semua di luar terlihat sempurna. Kadang kita tertawa, tapi hati terasa hampa. Itu karena manusia diciptakan bukan hanya dengan logika, tetapi juga hati. Kita bisa merencanakan hidup dengan sempurna, tapi tetap merasa goyah ketika dihadapkan pada ketidakpastian.

Dalam Al-Qur’an, Allah memberikan berbagai perspektif mengenai hakikat manusia, tujuan hidup, dan peran mereka di dunia, manusia tergambar melalui Ayat-ayatnya antara lain. Di QS. Al-Hijr (15): 28-29, Allah mengingatkan kita tentang asal-usul penciptaan manusia:

“Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering yang berasal dari lumpur hitam yang diberi bentuk lalu Aku meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Ku.”

Manusia diciptakan bukan tanpa tujuan. Dalam QS. Adz-Dzariyat (51): 56, Allah berfirman:

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”

Bayangkan itu: kita makhluk yang berasal dari tanah liat diberi kehormatan besar, yaitu roh dan kehidupan. Kita diberi akal untuk berpikir, hati untuk merasa, dan kebebasan untuk memilih. Itulah sebabnya Allah berfirman dalam QS. Al-Kahfi (18): 29:

“Kebenaran itu datang dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.”

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" (QS. Al-Baqarah: 30). Tapi Allah menjawab: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."

Manusia diciptakan sebagai khalifah, pemimpin di bumi. Itu bukan tugas kecil. Artinya, kita punya tanggung jawab besar terhadap diri sendiri, sesama, dan dunia yang kita tinggali. Manusia ditugaskan untuk memakmurkan dunia sesuai dengan ketentuan-Nya. Tapi di balik semua itu, kita juga diuji. Ada sisi terang dan sisi gelap dalam diri kita. Ada saat-saat kita harus memilih: ingin menjadi baik atau buruk, peduli atau abai, berjuang atau menyerah. Dan di sinilah, manusia sejati itu lahir ketika kita berusaha memilih terang, meskipun dunia di sekitar terasa gelap.

Tapi apa sebenarnya arti menjadi manusia sejati? Jawabannya mungkin berbeda bagi setiap orang. Bagi sebagian orang, itu berarti sukses, menjadi kaya, atau terkenal. Tapi jika kita berhenti sejenak dan bertanya pada hati, jawaban itu bisa jadi lebih sederhana: menjadi seseorang yang jujur dengan dirinya sendiri, yang berani bertumbuh, dan tidak lupa bahwa kita punya hati yang harus dijaga.

Kita adalah makhluk yang saling membutuhkan. Sebab kebahagiaan sering kali datang bukan dari apa yang kita miliki, tapi dari apa yang kita berikan. Sebuah senyuman kecil, tangan yang terulur membantu, atau cinta yang tulus. Itu yang membuat hidup jadi lebih berarti.

Di akhir perjalanan, mungkin kita akan sadar bahwa pertanyaan “Siapa aku?” tidak selalu membutuhkan jawaban yang mutlak. Karena menjadi manusia sejati bukanlah tentang menemukan jawaban sempurna, melainkan bagaimana kita menjalani hidup dengan penuh makna. Setiap tawa, setiap air mata, pertemuan, perpisahan, kegagalan, dan keberhasilan adalah bagian dari proses itu. Kita adalah perjalanan yang tak pernah selesai, mimpi yang terus hidup, dan harapan yang selalu menyala meski badai menerpa.

Mungkin kita hanyalah manusia biasa tapi di balik kesederhanaan itu, ada sesuatu yang luar biasa. Kita punya kesempatan untuk menjadi versi terbaik dari diri kita, apa pun kata dunia. Dan itu cukup.

Jadi, siapa sejatinya manusia? Kita adalah petualangan tanpa akhir, yang akan terus berjalan selama kita masih berani melangkah. Kamu, aku, kita adalah manusia. Sederhana, namun luar biasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun