Mohon tunggu...
Muh Arif Fahreza
Muh Arif Fahreza Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Sebaik baik manusia, yang bermanfaaat bagi manusia lain

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Jokowi sebagai figur presiden tidak mampu memperkuat keuangan syariah

14 Januari 2025   14:55 Diperbarui: 14 Januari 2025   13:54 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Opini: Mengapa Jokowi Tidak Memaksimalkan Pengelolaan Keuangan Publik Islam?

Pengelolaan keuangan publik adalah salah satu aspek vital dalam pemerintahan yang berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat dan pembangunan negara. Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, memiliki potensi yang besar untuk memanfaatkan prinsip-prinsip ekonomi syariah dalam pengelolaan keuangan publik. Namun, dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), kita tidak melihat adanya langkah-langkah signifikan yang memaksimalkan penerapan sistem keuangan berbasis Islam secara optimal. Beberapa faktor, baik yang terkait dengan kebijakan ekonomi, politik, maupun dinamika sosial, bisa menjadi penyebab mengapa hal ini terjadi. Opini ini akan mengulas beberapa alasan mengapa Jokowi belum maksimal dalam pengelolaan keuangan publik Islam, baik dari perspektif ekonomi maupun politik.

Selama masa pemerintahan Jokowi, fokus utama dalam kebijakan ekonomi makro lebih banyak tertuju pada stabilitas makroekonomi, infrastruktur, dan menarik investasi asing, sementara penerapan prinsip-prinsip ekonomi syariah dalam pengelolaan keuangan negara terkesan kurang mendapat perhatian serius. Indonesia memang memiliki potensi besar untuk memanfaatkan sektor ekonomi syariah, mengingat keberadaan Bank Syariah Indonesia (BSI) dan lembaga-lembaga keuangan lainnya yang beroperasi dengan prinsip-prinsip syariah. Namun, upaya Jokowi dalam memajukan ekonomi syariah tidak tampak menonjol dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya, seperti sektor industri atau sektor perdagangan.

Selain itu, meskipun ada kebijakan untuk meningkatkan sektor keuangan syariah, seperti pembentukan Dewan Syariah Nasional (DSN) dan penguatan peran Bank Indonesia dalam mengawasi keuangan syariah, kebijakan tersebut tidak cukup menjangkau aspek yang lebih luas dalam pengelolaan keuangan publik secara menyeluruh. Misalnya, penerapan prinsip syariah dalam pengelolaan anggaran negara, atau alokasi dana publik untuk program-program sosial yang lebih berorientasi pada keadilan sosial dan keberlanjutan ekonomi berbasis Islam. Sebagai negara dengan mayoritas Muslim, seharusnya Indonesia bisa menjadi pelopor dalam penerapan sistem ekonomi yang mengedepankan nilai-nilai syariah, namun implementasinya belum maksimal.

Faktor politik domestik menjadi alasan signifikan mengapa Jokowi tidak sepenuhnya memaksimalkan pengelolaan keuangan publik berbasis Islam. Meskipun Jokowi berasal dari partai yang dikenal memiliki basis massa besar dari kalangan Muslim, yaitu PDI-P, kepentingan politik partai dan koalisi yang dibangun selama pemerintahan membuat kebijakan yang diambil cenderung tidak terlalu menonjolkan ideologi Islam. PDI-P sendiri, meskipun memiliki afiliasi dengan segmen pemilih Muslim, bukanlah partai yang dikenal memperjuangkan penerapan ekonomi syariah secara tegas.

Di sisi lain, partai-partai lain yang lebih berfokus pada kepentingan Islam, seperti PKS atau PPP, mungkin merasa Jokowi tidak cukup memberikan ruang bagi penerapan prinsip-prinsip syariah dalam kebijakan ekonomi negara. Meskipun ada upaya penguatan ekonomi syariah di sektor tertentu, misalnya dalam pengembangan sukuk negara atau peningkatan peran Bank Syariah, hal ini lebih merupakan respons terhadap kebutuhan internasional dan bukan sebuah kebijakan yang sepenuhnya berasal dari dorongan ideologis.

Politik koalisi yang dibangun oleh Jokowi juga menjadi kendala. Untuk mempertahankan dukungan dari berbagai partai koalisi, Jokowi harus menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi, sosial, dan politik. Dalam konteks ini, fokus pada pengelolaan keuangan berbasis syariah, yang membutuhkan komitmen ideologis yang kuat, bisa saja dianggap kurang sesuai dengan dinamika politik yang ada. Keputusan-keputusan yang diambil dalam pengelolaan ekonomi lebih banyak terfokus pada isu-isu pragmatis, seperti pembangunan infrastruktur dan pengelolaan investasi asing, yang sering kali dianggap lebih menguntungkan secara politik.

Walaupun Indonesia memiliki banyak ulama dan pakar ekonomi syariah, pemahaman tentang ekonomi syariah di kalangan pembuat kebijakan di tingkat pemerintahan masih terbatas. Banyak pihak yang masih menganggap ekonomi syariah sebagai sektor ekonomi alternatif yang terbatas pada pasar modal atau lembaga keuangan, tanpa melihat potensi besar yang dimiliki dalam pengelolaan anggaran negara dan kebijakan fiskal yang lebih luas.

Jokowi, meskipun memiliki dukungan dari berbagai kalangan Muslim, termasuk beberapa ulama dan pengusaha Muslim, mungkin kurang memiliki pemahaman yang mendalam tentang bagaimana ekonomi syariah bisa diterapkan secara menyeluruh dalam pengelolaan keuangan publik. Hal ini menjadi tantangan besar, karena implementasi ekonomi syariah dalam keuangan publik bukan hanya tentang zakat, infaq, dan sedekah, tetapi juga tentang bagaimana mengelola anggaran negara dengan prinsip keadilan, keberlanjutan, dan keseimbangan sosial yang lebih merata, yang menjadi nilai inti dalam ekonomi Islam.

Pengaruh globalisasi juga menjadi faktor yang tidak bisa diabaikan dalam menjelaskan mengapa Jokowi tidak memaksimalkan pengelolaan keuangan publik berbasis Islam. Dalam era globalisasi, ekonomi Indonesia tidak dapat sepenuhnya terlepas dari dinamika ekonomi global yang lebih didominasi oleh sistem ekonomi kapitalis dan pasar bebas. Indonesia sering kali harus menyesuaikan kebijakan ekonominya dengan standar internasional, yang banyak dipengaruhi oleh negara-negara Barat yang menerapkan sistem kapitalisme.

Keberadaan lembaga-lembaga internasional seperti IMF, Bank Dunia, dan organisasi perdagangan dunia lainnya seringkali memengaruhi kebijakan ekonomi negara, termasuk dalam hal pengelolaan keuangan publik. Dalam hal ini, negara-negara dengan sistem ekonomi berbasis syariah seperti Indonesia harus berhadapan dengan tantangan besar untuk menyeimbangkan antara kepentingan internasional dan prinsip-prinsip ekonomi Islam. Jokowi, sebagai pemimpin yang menghadapi berbagai tantangan dalam hubungan internasional, mungkin merasa perlu untuk lebih berfokus pada kebijakan ekonomi yang lebih diterima secara global dan pragmatis, daripada mengutamakan prinsip syariah yang mungkin dianggap lebih kompleks atau tidak dapat diterima secara universal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun