[caption id="" align="aligncenter" width="490" caption="gambar/eo.ucar.edu"][/caption]
Kehidupan tiba-tiba senyap ditiup badai. Sekawanan burung pipit terjebak di pohon ceri kedinginan diterpa hujan, sementara tikus got enggan keluar sarangnya untuk mengais sampah di onggokan. Titik hujan masih menyerupa paruh unggas mematuk-matuk atap tempatku berteduh. Hari ini masih jam 3 sore tetapi sudah menjelma subuh yang hitam dan diam, membeku pada dahan nyiur di atas jalan, berayun tak kuasa menantang angin. Sesekali kilatan petir memamerkan ketegarannya pada gelap.
Hanya musafir dengan rentengan gelang di kaki membelah badai menuju gubuk tempatku meneduh. Dia menoleh dan memberi tahu atas kedinginan yang menyelimutiku,
“Dia tidak senang jumlah manusia terlalu banyak.”
Dia berkata seolah menjawab pertanyaanku akan badai. Berkata dengan jeda membiarkan aku berfikir dalam penasaran saat hujan makin deras dan butiran air memahat angin di jalanan.
“Alam akan merebut perannya, memilih manusia yang mampu bertahan. Lainnya biar ikhlas kembali ke bumi.”
Lalu musafir itu menggumam seolah memantra yang tak bisa kudengar sambil berlalu menjemput hujan lebat, membiarkanku terbengong dalam tetesan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H