Mohon tunggu...
Hasan Muhammad
Hasan Muhammad Mohon Tunggu... -

'

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Berita Koran

17 April 2011   03:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:43 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lelaki itu menggendong tas punggung dan duduk di salah satu pojok dengan diam. Dia datang bersama bisik orang-orang ketika memasuki keriuhan taman. Sejak kedatangannya, aktivitas di taman seperti terhenti. Semua orang mencuri-curi memperhatikan dengan waspada pada pemuda itu. Para orang tua memanggil anak-anaknya di taman pasir agar cepat berkemas. Seolah semua kompak mendapati firasat bencana bakal terjadi sore itu. Pikiran mereka didirijen oleh sepotong berita yang terbit pagi tadi dari koran daerah tentang teroris yang sudah memasuki kota pesisir itu. Kicau burung gagak di dahan pohon kapuk dan direspon kepanikan sekawanan anak ayam seolah menambah drama suasana sore.

Mereka masih satu kampung dengan pemuda itu tetapi mereka terlanjur menganggap pemuda itu terlalu pendiam dan jarang bersosial.

“Jangan-jangan dia menggendong bom dalam tasnya.” Beberapa orang menduga-duga diikuti ketakutan yang lain.

Ketika teror bom kembali menjangkiti negeri ini, mereka selalu mencurigai setiap orang yang memasuki kampung dan tidak terlalu mereka kenal. Para orang tua itu dibelenggu ketakutan pada setiap barang yang dibawa orang yang mereka anggap asing.

Mereka tak berkedip menelanjangi setiap gerak-gerik si pemuda.  Sementara si pemuda tidak sadar atau memang tidak terlalu mempedulikan, lalu dia mengeluarkan selembar kertas dan sibuk mencatatkan sesuatu.

“dia mungkin mencatat kebutuhan belanjaan untuk bom rakitannya.”

“Berarti dia belum membuat bom kalau benar begitu.” Timpal yang lain seraya berharap bom tidak meletus sore itu.

“Bisa jadi dia sedang mengecoh kita sebelum benar-benar menekan pemantiknya.” Timpal yang lain lagi. Beberapa di antara mereka bergegas pulang membawa anaknya meski tampak beberapa anak menolak ajakan orang tuanya karena masih ingin bermain di taman pasir.

“Bukankah dulu dia juga pernah datang ke taman ini?” tanya salah satu dari mereka mencoba rasional.

“Dulu belum musim bom.” Jawab seorang yang berdiri tegang di bawah pohon weru mendekap erat putrinya tanpa melepaskan tatapannya ke arah bangku tempat duduk pemuda itu. Agaknya dia mempelajari cara mengenal orang yang membawa bom dari televisi.

Pemuda itu tiba-tibadengan tergesa menulis kata demi kata di selembar kertas itu. Tapi secepatnya meremas hasil tulisannya sebelum membuangnya di tong sampah yang berada belakangnya. Seperti dengan amarah, dia bangkit dengan tergesa dan berjalan cepat meninggalkan taman. Lalu orang-orang berebut mengambil potongan kertas di tong setelah pemuda itu tidak lagi terlihat di ujung gang. Rasa penasaran menjangkiti mereka membuka lipatan kertas yang telah menjadi kumal itu. Lalu salah satu dari mereka memberi kelegaan,

“Syukurlah, dia hanyalah penyair yang baru kehilangan ibunya.” Mereka membubarkan ketegangan setelah membaca larik puisi si pemuda yang terbuang.

[caption id="" align="aligncenter" width="314" caption="gambar/humoreview.blogspot.com"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun