Mohon tunggu...
Izzat Muhammad Efendi
Izzat Muhammad Efendi Mohon Tunggu... -

Sejumput yang tak terelakan dari rimba hidup, mahasiswa UIN jurusan Ilmu Komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bocah Aspal

20 November 2014   19:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:18 2
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sosial, masyarakat, lingkungan tak ada habisnya jika dibahas dikaji hal ini sebanding dengan perkembangan rupa metropolitan saat ini. Antaranya adalah persoalan kehidupan dijalanan. Munculnya gelandangan, pengemis, anak jalanan, kriminalitas pun seperti mengekor dibelakangnya. Namun pernahkah terbesit bahwa sebenarnya mereka bukan pelaku yang patut dijadikan pelampiasan dari kriminalitas yang dilakukan segelintir oknum yang tak bertanggung jawab, mereka korban dari pembangunan yang secara tidak langsung menggerus mereka menuju sudut kota yang hasilnya menjadi slum area.

Salah satu permasalahan yang menjadi concern dan posisinya yang cukup krusial adalah anak jalanan entah cara penanganannya, pengawasannya, tetek bengeknyalah, atau malah pemberangusannya. Sederhananya anak jalanan didefinisikan sebagai anak yang memiliki interval usia antara 7-18 tahun itu baru yang dipaparkan oleh dinas sosial, LSM lain memaparkan data lain yaitu anak yang berusia 6-17 tahun dan masih banyak lagi namun ada juga yang berpendapat batas anak dikatakan anak adalah ketika dia sudah pubertas bagi laki-laki jika ia sudah mimpi basah dan datang bulan jika ia perempuan. Tapi pendapat itu kurang dapat diterima karena tidak mungkin mengidentifikasinya secara langsung satu persatu.

Secara umum anak jalanan dapat dibagi menjadi 3 kategori :

1.Anak jalanan yang selama 24 jam hidup di jalanan

2.Anak jalanan yang bekerja di jalanan namun masih memiliki rumah dan keluarga

3.Anak yang rentan turun ke jalanan karena orang tuanya atau ada masalah keluarga

Sedangkan menurut YKAI (Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia) yang saya lansir bahwa mereka melihat anak jalanan dari beberapa indikator sebagai berikut :

1.Anak yang benar-benar hidup dan bekerja di jalan dan diterlantarakan atau telah lari dari keluarga mereka. Anak jalanan betul-betul tinggal dijalanan, lepas samam sekali dari orang tuanya. Mereka ini pada umumnya dianggap gelandangan (children of the street).

2.Anak jalanan yang kadang-kadang saja kembali kepada orang tuanya. Anak jalanan seperti ini pada umunya lebih banyak menghabiskan waktunya diluar rumah. Anak tersebut masih menjaga hubungan dengan keluarga mereka, akan tetapi mereka menghabiskan banyak waktu di jalanan (children on the street).

3.Anak dari keluarga yang hiduo di jalanan (family of the street), yaitu anak jalanan yang keluarganya berasal dari jalanan.

Anak jalanan kerap kali disandingkan dengan kriminaslitas atau hal-hal yang berbau tidak enak karena menampilan mereka yanglusuh tidak terawat ada juga yang menggunakan piercing, tattoo dsb namun pernahkah terbesit bahwa mereka melakukan itu semua hanya agar mereka dapat dilihat agar mereka dapat merasakan eksistensi keberadaannya dianggap ada oleh masyarakat mereka haus akan perhatian, maka demikian? Patutlah kita menengok sedikut kebelakangan apa sebab mereka hadir dan ada. Sebagian dari mereka tidak memiliki orang tua yang lengkap atau ditinggal oleh ayahnya yang menyababkan posisi kepala keluarga menjadi kosong dan otomatis digantikan oleh ibu namun ibu mereka tidak sanggup mengemban tanggung jawab menafkahi mereka seorang diri alhasil mereka memperkerjakan anaknya ataupun mengambil keputusan sulit yaitu turun kejalan

Ada juga anak jalanan yang sebenarnya mereka mampu jiika dilihat dari segi ekonomi namun karena sikap solidaritas kepada salah satu temannya yang turun ke jalan akhirnya mereka turut serta. Anak jalanan juga anak punk kira-kira itulahh stereotip masyarakat anak punk yang notabenenya hanya bermodal alat musik seadanya turun kejalan mencari nafkah mengembara ke kota-kota besar dan turut serta menghegemoni secara tidak langsung terhadap pola pikir anak-anak lainnyayang ada di kota tempat mereka singgah. Dan masih banyak sebab-sebab mereka hadir dalam kehidupan sekitar kita.

Dewasa ini sikap yang berkembang menggurita dalam masyarakat perkotaan adalah sikap individualisme yang tinggi mereka kerap kali acuh tak acuh terhadap lingkungan sekitar padahal sejatinya anak-anak jalanan adalah tanggung jawab kita bersama khusunya lingkungan terdekat entah yang bergerak dalam ranah birokrasi maupun moralitas (ed. Tokoh agama atau tokoh masyarakat). Menukil perkataan dari seseorang yang cukup lama menyelam dalam kehidupan anak jalanan “jika kita ingin mendekati mereka maka kita harus memposisikan diri seperti mereka kita tanggalkan anggapan “aku “ “kamu” gunakanlah “kita”. Kita tanggalkan anggapan mereka lusuh kita bersih mereka bodoh kita terpelajar mereka bau kita tidak dan lain lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun