Di era digital saat ini, kita tidak lagi bicara soal modal besar untuk menaklukkan dunia bisnis. Atensi, atau perhatian dari audiens, telah menjadi mata uang baru.
"Atensi Ekonomi" menggambarkan bagaimana perhatian dapat diubah menjadi sumber daya ekonomi bagi individu—terutama konten kreator—dengan memanfaatkan teknologi seperti media sosial. Dari sini, muncul berbagai fenomena menarik yang melibatkan interaksi antara konten, platform, dan audiens.
Salah satu cara efektif untuk menarik perhatian adalah dengan menciptakan konten yang sesuai dengan selera atau kebutuhan audiens. Konten yang menghibur—baik itu berupa tawa atau hiburan ringan—terbukti memiliki daya tarik kuat. Ironisnya, konten dengan nuansa sosial yang dangkal atau bahkan humor receh lebih mudah menarik atensi daripada konten yang bersifat mendidik atau memberikan wawasan yang berarti.
Pertanyaannya, mengapa kita—sebagai masyarakat—lebih suka menonton orang melakukan aksi bodoh daripada belajar sesuatu yang baru?
Tidak dapat dipungkiri, konten bernuansa erotis juga menduduki posisi yang tinggi dalam lanskap atensi ekonomi ini. Dengan hanya sekadar memamerkan bagian tubuh tertentu atau bermain dengan unsur-unsur seksual, seorang konten kreator bisa mendulang perhatian dalam jumlah besar.Â
Tak hanya itu, konten receh yang memperlihatkan tindakan bodoh atau melanggar norma sosial juga sering kali menjadi viral. Fenomena ini, tentu saja, menimbulkan pertanyaan serius: Apa yang sebenarnya menarik bagi kita sebagai konsumen media digital?
Ketika bicara soal promosi, kita juga melihat perbedaan mencolok. Konten kreator yang konsisten dengan tema mereka—seperti Tanboy Kun yang fokus pada review makanan, atau kanal YouTube seperti Ferry Irwandi yang menekankan edukasi mental—cenderung mendapatkan tawaran iklan atau kerjasama yang relevan dengan niche mereka.
Namun, bagi mereka yang bermain di ranah erotis atau konten bodoh, peluang kerjasama yang mereka dapatkan justru sering kali berkaitan dengan hal-hal yang lebih kelam, seperti promosi judi online. Fenomena ini sangat mencolok di Indonesia, di mana iklan judi online begitu gencar, terutama melalui konten-konten yang sebenarnya tidak layak dipromosikan.