HmI merupakan Organisasi mahasiswa Islam tertua yang hingga kini masih eksis dalam dunia perkaderan. Berdirinya HmI tidak sesimpel ada mahasiswa lalu terbentuklah organisasi ini. Namun, terbentuknya HmI berdasarkan perundingan oleh 14 mahasiswa pada mata kuliah tafsir di STI Yogyakarta pada 5 Februari 1947, maka dari perundingan tersebut maka lahirlah HmI.Â
HmI sebagai Organisasi berhasil bertahan hingga masa kini disebabkan memiliki sifat independensi atau tidak memihak sana dan sini, selain dari sifatnya ada satu peran penting mengapa HmI masih eksis yaitu Konstitusi.Â
Konstitusi sendiri merupakan peraturan dasar yang menjadi patokan atau pedoman seorang kader dalam menjalankan organisasi. Seiringan berjalannya waktu konstitusi HmI terus berubah dengan melihat kondisi zaman, terhitung sejak pendiriannya pada 5 februari 1947 maka Konstitusi HmU sudah beberapa kali melakukan revisian dimulai dari pembentukan konstitusi pertama yang mengatur Anggaran Dasar pada 30 november 1947 pada kongres HmI pertama dan disahkan pada tanggal 4 september 1953 pada kongres ke tiga di jakarta hingga kini pada kongres ke 32 di pontianak lengkap sudah konstitusi HmI dengan berisikan AD/ART, pedoman, serta sanksi.
Berbicara mengenai kesempurnaan maka tidak ada sesuatu di dunia ini yang sempurna (istilah = sempurna sifat manusia dikatakan istilah karena tuhan tak bisa disamakan dengan sifat manusia) kecuali sang pencipta. Hal berdasarkan pengalaman  saya melihat dan adanya kemungkinan bahwa ketidak tahuan syaa terhadap konstitusi HmI khususnya pada pedoman perkaderan terbaru, namun dari beberapa file dan situs yang saya temukan kurang lebih hasilnya masih sama pada pasal dan bagian syarat keanggotaan dan persyaratan mengikuti training lanjutan (LK2, SC, LK3, Dll). Adapun kegelisahan saya terhadap kejanggalan tersebut dikarenakan adanya anggota/kader HmI yang mengikuti pelatihan ke jenjang lanjutan (LK2/SC) dan telah diketahui bahwa ia tidak berstatus mahasiswa aktif bukan karena cuti ataupun DO melainkan karena tidak mau melanjutkan perkuliahan sampai tahap registrasi ulang selama 2 semester sehingga ditetapkannya dengan status (non aktif), justru yang sangat saya herankan dalam pada kasus ini adalah peran komisariat yang mengizinkan dan cabang/bpl yang acuh tak acuh terhadap status kader sebagai mahasiswa (disini saya membawa cabang karena diketahui bahwa sang kader menempati cabang dan berdasarkan pengakuannya ia dipromosikan menjadi pengurus BPL dengan persyaratan SC).Â
Berkaitan dengan hal tersebut maka saya menyimpulkan beberapa poin terkait dengan kegelisahan saya yaitu :
Pasal Perkaderan yang Ambigu dan Samar-samar
Sudah jelas bahwa konstitusi memuat banyak pasal yang mengatur kader dan sebagai pedoman dalam menjalankan organisasi seperti yang telah disinggung pada pendahuluan tadi.Â
Pada kali ini kita akan membahas tentang pasal yang canggung dan bermakna ambigu karena terhitung sejak awal pengesahannya  tidak ada penjelasan lebih lanjut terhadap pasal ini yakni pada AD HmI bab IV pasal 7 terkait dengan status, pasal 10 AD HmI, dan pada ART HmI Bab I bagian I hingga bagian ke V tidak ada penjelasan berkaitan dengan status dan hanya mengatakan "Mahasiswa Islam" dilanjutkan pada bab I pasal 1 ART HmI "......dibuktikan dengan terdaftar dalam perguruan tinggi".Â
Sebagaimana yang telah diuraikan diatas bahwa kondisi Mahasiswa Non-Aktif apakah dapat dikatakan mahasiswa atau tidak ? Jika ya lantas bagaimana jika diketahui bahwa ia tidak melanjutkan studinya dan meninggalkan organisasi maka apa gunanya perkaderan/pelatihan lanjutan yang telah ia dapatkan jika tidak memberikan dampak apapun bagi kader yang berada di komisariat, disini kita membicarakan dampak oleh kader dengan pelatihan lanjutan bagi komisariat bukan dampak bagi individu (tak perlu dijelaskan manfaat bagi individu, jelas banyak).Â
Dengan demikian maka penting untuk mengetahui kejelasan terkait dengan status keanggotaan jadi status keanggotaan seharusnya juga berdasarkan status kemahasiswaannya di perguruan tinggi.
Setelah membedah pasal yang ambigu dan samar-samar sehingga muncullah pertanyaan terkait dengan bagaimana status keanggotaan HmI yang jelas dan telah disinggung dengan pertanyaan lanjutannya.Â
Selanjutnya, jika dikatakan bahwa status keanggotan kader hanya berdasarkan lulus Latihan Kader I tanpa melihat status pada perguruan tinggi, maka hal ini melanggar pasal 7 tentang status pada bab I AD HmI terkait dengan "Mahasiswa Islam" tak perlu penjelasan apa itu mahasiswa, secara umum sudah diketahui bahwa orang yang melanjutkan studi pada perguruan tinggi ia disebut dengan mahasiswa, dan bukannya pada pasal 10 AD HmI telah disebutkan bahwa "Yang dapat menjadi anggota HMI adalah mahasiswa Islam yang terdaftar pada perguruan tinggi dan/atau yang sederajat .......", juga pada pasal 1 ART menjelaskan tentang anggota muda dibuktikan dengan terdaftar pada perguruan tinggi.Â