Mohon tunggu...
Muhammad Zhafran Nabil
Muhammad Zhafran Nabil Mohon Tunggu... Mahasiswa - Man Jadda wa jada

Semangat 🔥

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

“Junjuangan Baniah” (Junjungan Benih) dalam Penanaman Benih Sawah di Minangkabau

10 Maret 2021   15:51 Diperbarui: 10 Maret 2021   16:07 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Junjungan benih atau yang biasa disebut orang minangkabau “Junjuangan Banih” adalah suatu tradisi unik yang dilakukan oleh para petani sawah minang sebagai tanda bahwa sawah tersebut akan ditanami benih padi. Tradisi tersebut sudah dilakukan dari zaman nenek moyang dahulu sebagai tanda bahwa pemilik sawah akan menanam benih. Biasanya, tradisi junjungan benih bisa ditemukan di wilayah darek (darat) atau perkampungan di Minangkabau

Tradisi junjungan benih prosesnya hanya penancapan junjungan di tengah sawah. Pada pagi hari, sebelum penanaman benih, pemilik sawah akan mengambil beberapa daun, seperti daun pinang, daun serai, dan daun puding untuk dijadikan sebagai junjungan benih. Kemudian, junjungan tersebut akan ditancapkan pada pertengahan sawah yang akan ditanami. Setelah ditancapkan, junjungan benih tersebut akan dikelilingi beberapa benih padi sebagai tanda awal penanaman benih. Pada saat itu, dimulailah para petani untuk menanam benih.

Menurut “urang-urang zaman saisuak” ( orang-orang lama minangkabau), penancapan junjungan benih pada sawah akan mempercepat tumbuhnya benih, dikarenakan pada zaman dahulu, benih-benih padi butuh cukup waktu yang lama untuk tumbuh. Karena, benih zaman dahulu bisa dipanen hanya dua kali dalam setahun. Untuk itu, orang-orang dahulu mempercayai bahwa junjungan benih akan memepercepat tumbuh benih padi. 

Kepercayaan lainnya tentang junjungan benih oleh orang-orang dahulu, yaitu jika junjungan benih yang dipakai adalah junjungan daun serai, maka padi akan tumbuh besar dan kokoh batangnya layaknya batang serai dan juga jika memakai junjungan daun serai, padi yang dihasilkan cukup banyak dan beras yang dihasilkan sangat putih dan harum seperti bau serai.

Namun, tradisi ini sudah mulai hilang di Minangkabau, terkhusus sawah-sawah yang ada di perkotaan. Sehingga orang tidak mengetahui tradisi unik yang dimiliki oleh alam minangkabau dan sudah mulai terlupakan. 

Maka jangan pernah dihilangkan tradisi yang ada di daerah kita, terkhusus untuk orang minangkabau karena sesuai pepatah minang, “Älam Takambang Jadi Guru”, alam memberikan semua hal yang kita butuhkan, walau hanya sekedar daun junjungan. Karena itu, junjungan benih diperlukan sebagai tanda oleh orang minang bahwa akan dimulai penanaman benih sawah untuk menghasilkan padi untuk beras.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun