UU ini mengatur prosedur perceraian yang cukup rumit dan mempersulit untuk dilakukan. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong pasangan suami istri untuk berusaha menyelesaikan konflik mereka secara damai dan mempertahankan perkawinan. Dan juga di harapkan mampu menekan angka perceraian yang melonjak tinggi.
4. Poligami Dibatasi dengan Ketat
UU ini memberlakukan batasan yang ketat terhadap poligami. Seorang suami tidak diperbolehkan untuk menikahi lebih dari satu istri secara serentak kecuali atas izin dari pengadilan dan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi. Karena poligami juga menganggu hak -- hak sebagai seorang istri di dalam sebuah pernikahan, dan juga salah satu pemicu terjadinya problematika dalam pernikahan seperti pembagian nafkah yang tidak adil, kasih sayang dll, dan bahkan berujung pada perceraian. Oleh sebab itu lah Undang Undang membatasi jumlah pernikahan.
5. Kematangan Calon Mempelai
Asas tersebut tertuang dalam pasal 7 ayat 1 dan 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 yang menjelaskan jika suatu perkawinan hanya diizinkan bilamana calon mempelai pria telah mencapai umur 19 tahun dan calon mempelai wanita berumur 16 tahun, yang saat ini sudah diubah, dimana semua pihak (pria maupun wanita) harus sudah berumur 19 tahun untuk mendapat keturunan yang baik dan sehat, serta memiliki tujuan nikah yang berbudi pekerti luhur. Dan harus meminta izin dispensasi nikah kepada pengadilan agama bilamana terjadi suatu penyimpangan dalam batas minimal usia nikah.
6. Memperbaiki Derajat Kaum Wanita
Asas tersebut bertujuan untuk mengatur permasalahan seperti pembagian harta bersama, perjanjian kawin dan mengatur harta bilamana dalam suatu rumah tangga telah bercerai. Mengingat masih banyak kasus wanita di Indonesia yang masih kurang perhatian dari berbagai hak pasca bercerai dengan sang suami, banyak kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kasus pelecehan, dan lain sebagainya, maka wanita harus diberi hak dan perlindungan lebih dengan tujuan untuk memperbaiki derajat, serta adil dalam berbagai sudut pandang hukum dan bermasyarakat.
7. Asas Pencatatan Perkawinan
Asas tersebut memiliki tujuan, dalam sebuah ikatan pernikahan harus tertib dan terjaga kesucian antara suami dan isteri. Selain itu asas tersebut juga mencegah pernikahan sepihak antara suami atau isteri terjadi. Bila suatu pernikahan tidak dicatatkan maka akan menimbulkan kerugian sepihak jika terjadi pelanggaran dalam pernikahan karena tidak memiliki kekuatan hukum. Asas ini menjadi keabsahan perkawinan yang tertera dalam pasal 2 ayat (1) Â UU Perkawinan yang berisi tentang suatu pernikahan dikatakan sah apabila sesuai dengan hukum dan agamanya masing-masing, dan setiap pernikahan harus dicatat oleh pemerintah. Bilamana dalam suatu pernikahan tidak sesuai dengan aturan tersebut, maka tidak dianggap sah dalam negara dan tidak memiliki kekuatan hukum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H