Pada tanggal 3 Desember 2024, bertempat di Ruang Rektor Universitas Darussalam Gontor, diadakan sebuah workshop bertajuk "Pesantren and Islamization Knowledge." Workshop ini menjadi ajang diskusi yang mendalam mengenai sejarah dan peran penting Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG) serta Universitas Darussalam Gontor (UNIDA) dalam dunia pendidikan Islam. Kegiatan ini dipimpin oleh Prof. KH. Dr. Amal Fathullah Zarkasyi, M.A., seorang pakar pendidikan Islam yang juga menjadi saksi perjalanan panjang kedua institusi ini sebagai pelopor pendidikan berbasis pesantren modern.
Dalam muqaddimahnya, Prof. Amal mengawali diskusi dengan mengangkat persoalan mendasar terkait sistem pendidikan di Indonesia. Ia menjelaskan bahwa masyarakat Indonesia sejak masa penjajahan Belanda telah dihadapkan pada dua pilihan sistem pendidikan yang berbeda: sistem pesantren dan sistem sekolah umum. Pesantren berakar kuat pada tradisi keislaman, menekankan pembentukan akhlak mulia, penguasaan ilmu agama, dan kehidupan berorientasi akhirat. Sebaliknya, sistem sekolah umum yang diperkenalkan oleh kolonial Belanda bersifat sekuler dan lebih fokus pada mencetak tenaga kerja yang terampil untuk memenuhi kebutuhan industri, tanpa memperhatikan nilai-nilai agama atau pembentukan karakter yang berkelanjutan.
Perbedaan mendasar ini melahirkan tantangan bagi bangsa Indonesia, terutama dalam menyelaraskan kebutuhan duniawi dengan orientasi spiritual. Sistem pendidikan nasional yang berkembang pasca-kemerdekaan dinilai gagal menciptakan insan kamil, yakni manusia yang seimbang antara potensi intelektual, emosional, dan spiritualnya. Kegagalan ini mendorong para pakar pendidikan untuk mencari model alternatif, di mana pesantren muncul sebagai jawaban yang relevan dan signifikan.
Dalam konteks ini, Prof. Amal mengulas sejarah panjang pesantren di Indonesia, termasuk dua aliran utamanya, yaitu salafiyah atau tradisional dan asyariyah atau modern. Pesantren tradisional cenderung mempertahankan metode pengajaran klasik dengan fokus pada kitab kuning dan ilmu agama, sementara pesantren modern mengintegrasikan ilmu umum ke dalam kurikulumnya tanpa meninggalkan nilai-nilai tradisional. Pondok Modern Darussalam Gontor menjadi contoh nyata dari keberhasilan pendekatan modern dalam pendidikan pesantren.
Sejarah Pondok Gontor memiliki akar yang sangat kuat di Indonesia. Diawali oleh Pondok Tegal Sari yang didirikan oleh Kyai Ageng Muhammad Besari pada abad ke-18, tradisi keilmuan ini diteruskan oleh Kyai Cholifah dan Kyai Sulaiman Jamaludin pada abad ke-19. Kemudian, pada tanggal 20 September 1926, Pondok Gontor yang baru dirintis oleh Kyai Ahmad Sahal, Kyai Zainuddin Fannani, dan Kyai Imam Zarkasyi. Pendirian Gontor Baru ini lahir dari keprihatinan atas kondisi dunia Islam pasca-runtuhnya Kekhalifahan Utsmaniyah. Ketiga tokoh ini memiliki visi besar untuk membangkitkan kembali kejayaan Islam melalui pendidikan yang menciptakan ulama intelektual, yang tidak hanya menguasai ilmu agama tetapi juga mampu bersaing di tingkat global.
Prof. Amal melanjutkan dengan menggambarkan inovasi yang diperkenalkan oleh Pondok Gontor. Pada masa itu, sebagian besar pesantren lain mengharamkan pengajaran ilmu umum. Namun, Pondok Gontor justru melihat pentingnya integrasi antara ilmu agama dan ilmu umum. Langkah awal ini dimulai dengan mendirikan Tarbiyatul Athfal, sebuah program pendidikan untuk anak-anak. Pada tahun 1936, Pondok Pesantren Gontor resmi mengadopsi sistem pendidikan modern. Salah satu inovasi terbesar datang dari Imam Zarkasyi, yang menciptakan sistem KMI (Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyyah). Sistem ini menggabungkan kurikulum pesantren dengan pendidikan umum, memberikan keseimbangan antara ilmu dunia dan akhirat.
Dalam perjalanannya, Gontor terus berkembang. Pada tahun 1963, didirikan Perguruan Tinggi Darussalam, yang kemudian berkembang menjadi Institut Pendidikan Darussalam pada tahun 1972. Institusi ini terus bertransformasi, menjadi Institut Studi Islam pada tahun 1994, dan akhirnya menjadi Universitas Darussalam Gontor pada tahun 2014. Transformasi ini mencerminkan visi besar Gontor untuk terus relevan dengan perkembangan zaman sambil tetap menjaga akar tradisinya.
Visi dan misi Pondok Gontor tertuang dalam Panca Jiwa yang meliputi keikhlasan, kesederhanaan, berdikari, ukhuwah Islamiyah, dan kebebasan. Selain itu, motto Gontor, yaitu Berbudi Tinggi, Berbadan Sehat, Berpengetahuan Luas, Berpikiran Bebas, menjadi landasan nilai-nilai yang ditanamkan kepada para santrinya. Program Panca Jangka yang meliputi pendidikan dan pengajaran, kaderisasi sumber daya manusia, pengembangan sarana dan prasarana, pendanaan, serta kesejahteraan keluarga menjadi strategi jangka panjang dalam menjaga keberlanjutan pondok.
Pada workshop ini, Prof. Amal juga mengulas sintesa Pondok Gontor dengan berbagai institusi pendidikan Islam lain di dunia, seperti Al-Azhar yang terkenal dengan sistem perwakafannya, Aligarh dengan modernitasnya, Syanggit dengan nilai kedermawanan dan keikhlasannya, serta Santiniketan yang mengedepankan kedamaian. Sintesa ini menunjukkan bahwa Gontor bukan sekadar lembaga lokal, tetapi memiliki wawasan global yang luas.