Mohon tunggu...
Muhammad Zainuddin Badollahi
Muhammad Zainuddin Badollahi Mohon Tunggu... Peneliti muda -

Mahasiswa UNHAS jurusan Antropologi, Program Master ilmu Sosial Politik jurusan Antropologi di UNHAS. Hobi : Membaca, Nulis, Fotografi, Traveling, Diskusi. Menjadi Konsultan adalah salah satu cita-cita ku. Menjadi seseorang dengan penuh tantangan dan menjadi seorang penelitian adalah hal yang menarik buat ku.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Struktur Kekerabatan dan Stratifikasi Sosial "Bugis"

1 November 2014   06:47 Diperbarui: 4 April 2017   16:55 4899
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sistem kekerabatan pada suku bangsa Bugis, nampaknya masih memegang peranan penting dalam rangka membangun identitas dalam dan kehidupan bersama sebagai suatu kelompok masyarakat. Pada dasarnya, sistem kekerabatan itu, berkembang dari suatu kelompok keluarga batih (Bugis : sianangmaranak). Sebagai keluarga batih, mereka terdiri atas ayah, ibu dan anak-anak dari ayah ibu tersebut yang hidup dalam sebuah rumah tangga. Namun demikian, dalam keluarga orang Bugis, sebuah rumah tangga, tidak hanya dihuni oleh sebuah keluarga batih, tetapi sering dijumpai, dalam sebuah rumah tangga terdapat beberapa keluarga di luar keluarga batih seperti kemanakan pihak suami atau isteri, nenek maupun kakek dan sebagainya. Keluarga luas (extended family) yang terbentuk, karena hubungan darah di sebut seajing atau sumpunglolo. Sumpung berarti sambung (an), sedang lolo berarti usus atau hati. Kelompok kerabat dekat disebut seajing mareppe atau macawe’ dan kelompok kerabat jauh disebut seajing mabela. Kelompok kerabat yang dipertalikan oleh hubungan suami-istri masing-masing pihak disebut assiteppateppangeng atau siroweowekeng. Anggota kerabat ini biasa saling berkumpul dan merasa sebagai satu anggota keluarga besar manakala mereka berkumpul dalam suatu kegiatan terutama pada saat diadakan suatu upacara daur hidup, seperti sunatan, aqikah maupun perkawinan. Pada masyarakat Bugis, wija; merupakan kelompok kerabat yang lebih luas, yakni kelompok individu yang mempunyai hubungan darah dari seorang tokoh (nenek, kakek) yang dijadikan sebagai tokoh kebanggaan keluarga atau keturunannya.

Orang Bugis, memperhitungkan garis keturunannya berdasarkan prinsip parental (bilateral), yakni hubungan yang memperhitungkan garis ayah-ibu. Sedang jika dilihat dari sudut kelangsungan hak dan kewajiban individu, termasuk pewarisan, mengikuti prinsip bilineal.

Dalam hal mencari jodoh, orang Bugis menganggap ideal suatu perkawinan antar sepupuh, terutama sepupuh duakali (sepupuh derajat kedua). Perkawinan semacam ini disebut assiparewekenna atau assialanna memang. Perkawinan antar sepupuh tersebut, walaupun dianggap ideal, tetapi bukan merupakan suatu keharusan. Pada zaman dahulu, perkawinan antar sepupuh dikalangan bangsawan memang dianjurkan oleh kebanyakan orang tua dengan alasan-alasan tertentu seperti menjaga kemurnian darah, penguasaan harta benda dan pengakraban kekeluargaan. Sekarang, hal seperti ini jarang kita jumpai lagi, sehingga menjadi hal biasa jika seorang kawin di luar kerabat, bahkan kawin dengan suku bangsa lain sudah merupakan hal yang wajar asal mereka biasanya seagama.

Adat menetap setelah menikah, baik orang Bugis maupun orang Makassar cenderung menganut pola bilokal, dimana individu mempunyai kebebasan memilih tempat tinggal, baik dilingkungan kerabat isteri, lingkungan kerabat suami atau bahkan tinggal dalam lingkungan tersendiri. Namun ada kecenderungan yang nampak, jika perkawinan telah dilangsungkan, maka suami akan menetap sementara waktu di rumah mertua atau ayah ibu sang isteri dan dari sini mereka akan mencari tempat tinggal sendiri.

Lapisan pertama (anak arung) adalah lapisan masyarakat bangsawan atau kerabat raja, lapisan Tomaradeka adalah lapisan masyarakat kebanyakan atau orang-orang yang merdeka (bebas) tapi bukan bangsawan, dan lapisan ketiga adalah ata atau hamba sahaya yang dikuasai oleh para bangsawan. Hal ini terjadi karena mereka adalah orang-orang yang ditangkap dalam peperangan, orang yang tidak dapat membayar utang dan orang yang melanggar pantangan adat.

Agaknya, pada beberapa daerah bekas kerajaan lokal di Sulawesi Selatan, pelapisan sosial tersebut mempunyai variasi tertentu dalam hal masing-masing strata, yang antara satu daerah dengan daerah lainnya agak berbeda tetapi esensinya sama.

Pelapisan sosial pada masyarakat Bone adalah sebagai berikut :

1.Anakkarung (bangsawan)

a.Anakkarung matowa (anak bangsawan penuh)

(1)Anakkarung Massala (putra/putri mahkota)

(2)Anakkrung matase (putra/putri raja)

b.Anakkarung

(1)Anakkarung ribolo (bangsawan istana)

(2)Anakkarung sipue (bangsawan separuh)

(3)Anak Cerak (bangsawan berdarah campuran)

2.To Maradeka

a.To deceng (keluarga orang baik-baik)

b.To sama (orang kebanyakan)

3.A t a

a.Ata mana (budak/sahaya)

b.Ata mabuang (sahaya baru)

Ada beberapa keterangan yang menyangkut pelapisan sosial diatas dikemukakan sebagai berikut :

1.Seorang laki-laki dari lapisan sosial tertentu, boleh mengawini seorang wanita dari lapisan yang sama atau lapisan yang lebih rendah, tetapi dilarang kawin dengan seorang wanita dari lapisan sosial yang lebih tinggi.

2.Hanya anggota lapisan anakkarung matowa, baik laki-laki maupun wanita yang boleh dicalonkan menjadi raja (mangkau). Keluarga Mangkau masih dianggap sebagai turunan Tomanurung dan karenanya masih merupakan to maddara takku.

3.Putra-putra yang berasal dari luar tana Bone dan yang berhak dijadikan permaisuri adalah orang-orang yang sederajat “anak karung matase”, yakni putri mahkota di Luwu, Gowa, Soppeng, Wajo dan Sidrap.

4.Anakkarung matase lainnya, dipersiapkan menjadi raja-raja bawahan yang merangkap “ade pitu” yakni dewan kerajaan yang terdiri atas raja-raja bawahan yang menjadi daerah inti kerajaan Bone. Dari lapisan inilah yang dipersiapkan untuk menduduki jabatan-jabatan dalam birokrasi kerajaan, seperti To Marilaleng, Ponggawa dan Arung Palili pada daerah di luar daerah inti tetapi berhak memperoleh perlindungan dari kerajaan Bone.

Pelapisan sosial serupa terdapat pula di tana wajo, sebagai berikut :

1.Anak Mattola (anak pewaris yang dipersiapkan untuk mewarisi tahta kerajaan suatu negeri dalam kekuasaan Wajo), (calon arung matase).

a.Anak Mattola (anak pewaris)

b.Anak Sangaji (anak terbilang mulia)

c.Anak Rajeng (anak dihargai)

(1)Anak rajeng lebbi (anak yang sangat dihargai)

(2)Anak Rajeng Biasa (anak dihargai biasa)

d.Anak Cerak (anak berdarah campuran)

(1)Anak cerak sawi (anak berdarah campuran warga)

(2)Anak cerak pua (anak berdarah campuran hamba sahaya).

(3)Anak Cerak ampulajeng (anak berdarah campuran hamba sahaya).

(4)Anak cerak lotong dapureng (anak berdarah campuran sahaya)

2.Anakkarung (anak bangsawan/raja)

Termasuk kategori pertama

3.Tau Deceng

a.Taudeceng

b.Taudeceng karaja

4.Tau Maradeka (warga merdeka)

a.Tau maradeka mannennungeng (warga merdeka abadi)

b.Tau maradeka sampegi (warga merdeka yang berasal dari sahaya yang dibebaskan).

5.Ata

a.Ata mana (sahaya warisan)

b.Ata mabbuang (sahaya baru)

Ada beberapa keterangan menyangkut pelapisan sosial diatas.

1.Orang Wajo tidak mengenal Tomanurung maka pelapisan sosial (masyarakatnya) tersusun menurut keadaan tiga buah negeri yang bergabung membentuk suatu kesatuan bersama, yang disebut tana Wajo.

2.Pada tiap-tiap negeri yang mengandung kesatuan tana Wajo di wanuanya, terdapat lapisan-lapisan masyarakat seperti anak mattola yang digambarkan sebagai lapisan (A), sesuai dengan peranannya dalam kekuasaan negeri. Mereka ada pemimpin-pemimpin kaum di komunitas mereka.

3.Untuk jabatan arung matowa sendiri, tidak tergantung pada putra mahkota tertentu yang akan mengisi jabatan tersebut, yang secara langsung atau dengan sendirinya diambil dari keturunan arung matowa.

4.Posisi puncak kekuasaan kerajaan, amat ditentukan dari penguasa-penguasa yang menempati posisi bawah. Dengan demikian terbuka kemungkinan timbulnya persaingan untuk menduduki posisi puncak tersebut di antara lapisan menengah atas dengan cara-cara sportif dan normatif, seperti lapisan menengah yang telah mengalami mobilitas vertikal dengan jasa dan perkawinan. Walaupun secara umum diketahui bahwa, keluarga lapisan atas itulah yang selalu dipersiapkan untuk menempati posisi puncak tersebut.

Pelapisan sosial seperti yang terdapat pada orang Bone dan orang Wajo juga terdapat pada orang Luwu, seperti tercantum di bawah :

1.Rombenna Kamummu

a.Anak Mattola

b.Anak Angjileng

c.Anak Massalangka

2.To Deceng

a.Ina-ina lili

b.Anang

c.Pua cerekang

d.Pua uragi

e.Attoriolong

f.Pempawa Epu

g.Wage

h.Cenrana

i.Laleng Tonro

3.To Sama

4.Ata

a.Ata mappong

b.Ata mana

c.Ata poleang pessi

d.Ata rielli

e.Ata Taimanu

Ada keterangan yang perlu dikemukakan sehubungan dengan sistem pelapisan sosial diatas : yakni :

1.Rombenna berarti lingkupannya, dan kamumu berarti warna ungu, yang juga menjadi arti persimbol dari keluarga bangsawan. Ini berarti bahwa Rombenna Kamummu adalah anggota keluarga raja (pajung) Luwu.

2.Anak Mattola/Anak Angjileng adalah seorang yang dilahirkan oleh bapak dan ibunya yang berdarah murni. Tetapi keduanya mempunyai perbedaan bahwa, anak mattola adalah anak yang dilahirkan pada saat orang tuanya (ibu dan bapaknya) sedang memangku jabatan pajung, sedang seorang anak angjileng, adalah anak yang lahir sebelum ataupun sesudah orang tuanya menjabat jabatan sebagai pajung (raja). Jadi sering terjadi dalam suatu keluarga dengan beberapa saudara, terdapat anak mattola dan anak angjileng.

3.To Deceng terbagi kedalam dua kelompok, yaitu : ina-ina lili dan anang. Yang dimaksud ina-ina lili (bangsawan palili) mereka yang menjadi penguasa-penguasa setempat dan memerintah di daerah palili tersebut. Daerah dan wilayah palili dalam sistem pemerintahan Luwu masing-masing memiliki bangsawannya sendiri dan berhak menjadi penguasa. Bangsawan Palili tersebut ina-ina lili.

4.Anang adalah kelompok sosial yang terikat dalam hubungan darah dan masing-masing memiliki peranan dan fungsi tertentu dalam masyarakat Luwu. Abbattireng anang tidak mempunyai hak untuk menjadi kepala wilayah (penguasa) di daerah palili.

Anang, terdiri atas pua cerekang, yakni mereka yang mengurus masalah agama (hubungan kepada dewa, keselamatan), kemakmuran dan kesejahteraan kerajaan). Pua Urangi mempunyai peranan mengurus pertukangan dan alat-alat upacara (perahu, rumah, usungan raja, bangunan upacara). Attoriolong dan Ponggawa Epu adalah pengawal bagian dengan sedang ponggawa epu adalah penjaga keamanan/pengawal yang bertempat dibagian belakang. Wage, Cenrana dan Laleng Tonro, adalah angkatan perang kerajaan.

To Sama, berarti orang kebanyakan atau merdeka yang menjadi penduduk kerajaan.

Ata, merupakan lapisan terbawah yang berarti sahaya. Dalam hal ini ada beberapa macam sahaya, yakni :

1.Ata Mappong, adalah sahaya turun temurun yang telah jadi sahaya secara turun temurun pada keluarga bangsawan tertentu. Apabila sahaya mappong milik keluarga yang tak pernah kawin dengan sahaya milik dari keluarga lain selama beberapa generasi, maka keturunannya dianggap bersih (mapaccing) sehingga dapat dijadikan inang pengasuh (indo pasusu) bagi putra putri raja dari keluarga pemiliknya.

2.Ata Mana, adalah sahaya yang didapat sebagai warisan dari orang tua, tetapi belum sampai beberapa generasi menjadi sahaya dari keluarga pemiliknya.

3.Ata Poleng Pessi, adalah sahaya yang didapat sebagai rampasan perang (irappai laleng musu).

4.Ata Rielli, yaitu sahaya yang dibeli atau ditebus dari orang lain.

5.Ata Tai Manu, sahaya yang menjadi milik dari seseorang yang juga masih berstatus sahaya.

Dari lapisan sosial di atas diketahui bahwa seorang laki-laki dari lapisan tertentu, boleh mengawini seorang perempuan dari lapisan yang sama, atau lapisan yang lebih rendah dari lapisannya, tetapi terlarang ia kawin dengan perempuan lapisan di atasnya. Hanya anggota-anggota keluarga dari lapisan Batara Guru yang menurut mitologisnya dianggap Tomanurung, yang memiliki atau disebut Maddar Takku, baik itu laku-laki maupun wanita boleh dicalonkan menjadi pajung (raja) Luwu.

Pelapisan sosial terdapat pula pada orang Makassar, seperti yang kita jumpai pada pelapisan sosial orang Gowa, suatu bekas kerajaan lokal yang cukup termashur. Pelapisan sosial di daerah ini adalah :

1.Anak Tikno

a.Anak Pattola

b.Anak Manrapi

2.Anak Supue

a.Anak Sipue Manrapi

b.Anak Sipue

3.Anak Cerak

4.Anak Karaeng Sala

5.Tumaradeka

a.Tubija

b.Tusamara

6.Ata

a.Ata Sessorang

b.Ata Nibuang

Anak Tiknok adalah putra/putri raja yang murni, yakni ayah dan ibunya adalah anak tiknok juga. Mereka ini adalah orang tuanya bangsawan tinggi, termasuk bangsawan tinggi pada kerajaan  lokal sederajat dengan Gowa, seperti Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidenreng dan sebagainya.

Anak Pattola, adalah putra/putri raja yang berhak penuh menjadi pengganti raja jika dianggap anak pattola tidak cakap untuk mengisi jabatan tersebut.

Anak Sipue, masih merupakan bangsawan tinggi teapi hanya salah seorang orang tuanya yang berdarah murni, dan ia pun berhak menjadi raja manakala anak pattola dan anam manrapi tidak ada. Anak Cerak, bangsawan yang hanya ayahnya saja anak pattola, manrapi atau anak sipue tetapi ibunya berasal dari keluarga sahaya (ata) .

Tomaradeka, adalah lapisan masyarakat yang masih termasuk orang baik-baik, sedang to sanna adalah lapisan sosial orang kebanyakan. Ata, merupakan lapisan masyarakat terendah, dan terdiri atas ata sossorang, yakni hamba sahaya yang menjadi warisan secara turun-temurun serta ata nibuang, yaitu orang yang dijadikan hamba sahaya karena dijatuhi hukuman atas kesalahan maupun karena ditawan dari suatu peristiwa peperangan.

Lapisan sosial yang disebut ata, mulai hilang sejak awal abad ke 20. Ini disebabkan karena adanya larangan dari pihak pemerintah kolonial Belanda serta adanya pengaruh dan desakan agama yang melihat manusia itu sebagai hamba Tuhan yang sederajat. Menurut Mattulada, bahwa sesudah terjadinya Perang Dunia ke II, arti dari perbedaan antara lapisan anakkarung/anakkaraeng dan tomaradeka/tumaradeka dalam kehidupan masyarakat telah berkurang. Kalaupun masih terdapat gelar-gelar kebangsawanan, maka gelar tersebut tidak mempunyai arti lagi sebagaimana arti yang terkandung dalam makna kata (gelar) seperti pada zaman dahulu. Bahkan sekarang arti tersebut dengan sengaja diperkecil dalam rangka perkembangan sosialisasi dan demokratisasi masyarakat Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun