Mohon tunggu...
Muhammad Zahran Nauvalliado
Muhammad Zahran Nauvalliado Mohon Tunggu... Mahasiswa - -

Apapun dibahas

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) dan UU yang Memayungi para Korbannya

15 April 2022   17:16 Diperbarui: 15 April 2022   17:21 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Isu gender merupakan permasalahan yang diakibatkan karena adanya perasaan tertindas oleh kaum perempuan dalam kehidupan bermasyarakat serta masih terjerat dalam kesalahpahaman perbedaan gender disamping dapat menimbulkan stereotype-stereotype yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Lazimnya, isu gender ini muncul karena adanya ketimpangan gender, yang bertendensi mengarah kepada munculnya permasalahan diskriminasi terhadap kaum perempuan yang meliputi antara lain adanya KDRT, hak akses dan penguasaan atas sumber-sumber kehidupan, kesempatan, status, peran, hak, serta penghargaan. Kekerasan berbasis gender contohnya, menjadi salah satu isu gender yang klasik dan selalu hangat dibicarakan sepanjang masa. 

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menjadi masalah kekerasan gender dalam kehidupan rumah tangga, di mana hal ini juga merupakan bentuk pelanggaran hak-hak asasi manusia serta kejahatan terhadap kemanusiaan dan merupakan tindakan diskriminatif. KDRT dapat dimaknai sebagai perbuatan manusia terhadap utamanya perempuan yang menimbulkan suatu penderitaan, mau itu secara fisik, seksual, mental, psikologis, ataupun penelantaran rumah tangga. KDRT termasuk ke dalam suatu bentuk kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang terdekat dalam hubungan intrapersonal, seperti halnya teman dekat, kekasih, atasan, ataupun pasangan hidup dalam pernikahan.

Sebelum terbitnya undang-undang pemberantasan KDRT, korban permasalahan yang  terkait sukar mendapatkan keadilan ataupun menerima perlakuan perlindungan atas kejadian yang mendampak ke dirinya. Stereotype masyarakat mengenai permasalahan rumah tangga sebagai suati hal yang tabu untuk dibicarakan, aib, dan merupakan sector privat, secara tidak langsung mendukung bentuk kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga. Dikarenakan stereotype sebelumnya membuat masyarakat enggan untuk aktif menyuarakan isu ini, sehingga sebelum adanya payung hukum yang memayungi masalah ini, hampir tidak pernah ada yang kasus yang dilaporkan kepada pihak berwajib atau bahkan mungkin sangat tertutup sampai pihak keluarga pun tidak tahu-menahu. KUHP pun sebagai hukum yang sudah tersedia tidak mengakomodasi masyarakat karena hanya mengenal istilah kekerasan fisik, tidak dikenalnya kekerasan psikis ataupun bentuk lain. Akibatnya, masyarakat kesulitan dalam pembuktian kekerasan yang terjadi.

Salah satu undang-undang yang berhasil diterbitkan, tepatnya tanggal 22 September tahun 2004, di mana diterbitkannya UU nomor 23 tahun 2004 mengenai Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) menjadi angin segar yang dirasakan oleh masyarakat Indonesia Undang-undang yang berisi sepuluh bab tersebut diharapkan dapat menjadi sebuah payung hukum yang memadai dalam me-maintain pencegahan kekerasan, perlindungan terhadap korban, dan penindakan terhadap pelaku.

Tetapi, dalam implementasinya, UU nomor 23 tahun 2004 masih terhambat banyak factor. Seperti mayoritas masyarakat Indonesia masih berpola pikir konvensional. Mereka mempunyai cara berfikir dalam rumah tangga, di mana ranah rumah tangga merupakan wilayah privat, sehingga kebijakan public tidak relevan untuk ikut campur di dalamnya. Lalu, budaya patriarki masih banyak dianut di masyarakat Indonesia. Mereka berfikir bahwa sudah kewajiban mereka untuk menjaga setiap aib keluarga, aib suami dan merasa bahwa sah-sah saja terhadap apa yang dilakukan suami kepadanya. Kemudian, kurangnya sosialisasi pemerintah mengenai undang-undang ini menjadi alasan berikutnya. Selanjutnya, tidak adanya perangkat hukum yang bisa menyelesaikan kasus KDRT, secara tegas UU tidak mampu mendefinisikan KDRT sebagai sebuah kejahatan criminal tertentu. Terakhir, masih marak pernikahan yang belum sah secara hukum

Maka dari itu, upaya dalam memberantas KDRT di dalam rumah tangga terus digalangkan agar kebijakan-kebijakan publik bisa menjadi lebih responsif dan cepat tanggap dalam menanggapi situasi dan kondisi perempuan. Seperti beberapa poin yang dituliskan dalam UU Nomor 23 tahun 2004, yaitu: a) merumuskan kebijakan penghapusan KDRT; b) menyelenggarakan komunikasi, informasi dan edukasi tentang KDRT; c) menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang KDRT; d) menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif gender, dan isu KDRT serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif gender. Dalam rangka menyukseskan tujuan-tujuan yang tercantum dalam UU tersebut, maka harus ada sosialisasi secara masif oleh pemerintah mengenai penghapusan KDRT dan juga pemerintah harus memiliki strategi dalam merubah mindset masyarakat yang masih primitif dalam menanggapi isu-isu gender yang melemahkan harkat dan martabat wanita di Indonesia

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun