Mohon tunggu...
Muhammad Zahran
Muhammad Zahran Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya mau buat tugas hihi

Selanjutnya

Tutup

Book

Resensi "Negeri 5 Menara", Dari Kampung hingga Sukses ke Mancanegara

23 Januari 2024   13:53 Diperbarui: 23 Januari 2024   14:11 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: PT Gramedia Pusat Utama

Nama pengarang: Ahmad Fuadi

Judul: Negeri 5 Menara

Jenis: Drama

Penerbit: PT Gramedia Pusat Utama

Cetakan: 2009

Tebal: 424Halaman

Tahun terbit: 2009

Novel ini mengisahkan perjalanan hidup enam santri dari enam wilayah berbeda yang menempuh pendidikan di Pondok Madani (PM) Ponorogo, Jawa Timur. Meskipun terpisah jauh dari rumah, mereka berhasil mewujudkan impian mereka untuk meraih ilmu dan membuka jendela dunia. Keenam santri tersebut antara lain Alif Fikri Chaniago dari Maninjau, Raja Lubis dari Medan, Said Jufri dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung, dan Baso Salahuddin dari Gowa. 

Perjalanan pendidikan mereka dimulai dari kelas 1 hingga kelas 6 di Pondok Madani, dan seiring waktu, hubungan mereka semakin erat. Kehidupan di pondok pesantren membentuk persahabatan yang kokoh di antara mereka. Mereka memiliki kegemaran yang sama, yaitu duduk bersama di bawah menara Pondok Madani, sehingga mereka kemudian menyebut diri mereka sebagai Sahibul Menara. Kesamaan minat ini menjadi ikatan yang memperdalam hubungan mereka dalam mengarungi lika-liku kehidupan di pondok pesantren.

Novel ini bercerita dengan diawali Alif, seorang pemuda yang lahir di tepi Danau Maninjau, tumbuh di tengah keindahan alam Minangkabau. Masa kecilnya diisi dengan kegembiraan berburu durian, bermain bola di sawah, dan mandi di Danau Maninjau yang biru. Namun, hidup Alif tiba-tiba berubah ketika ibunya memutuskan bahwa ia harus meninggalkan ranah Minangkabau untuk belajar di pondok pesantren di Jawa Timur. Meskipun Alif bermimpi menjadi Habibie, ibunya menginginkannya menjadi Buya Hamka. Dengan berat hati, Alif menaati perintah ibunya dan memulai perjalanan panjangnya menuju Pondok Madani. 

Saat tiba di Pondok Madani, Alif terpesona oleh "mantera" sakti: man jadda wajada, yang berarti siapa yang bersungguh-sungguh pasti sukses. Ini menjadi pedoman hidupnya di pondok pesantren. Di sana, dia juga terkesan dengan berbagai pengalaman baru, seperti mendengar komentator sepakbola berbahasa Arab, mendengar anak-anak mengigau dalam bahasa Inggris, dan merinding mendengar ribuan orang melagukan Syair Abu Nawas. 

Hidup di pondok pesantren membawa Alif berkenalan dengan teman-teman sejawatnya, yaitu Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung, dan Baso dari Gowa. Mereka membentuk persahabatan yang erat, diikat oleh hukuman jewer berantai di bawah menara masjid. Bersama-sama, mereka menanti maghrib sambil bermimpi melihat awan lembayung yang pulang ke ufuk, membawa harapan dan impian masing-masing. 

Meski kehidupan di pondok pesantren penuh dengan tantangan dan kedisiplinan ketat, Alif dan teman-temannya tetap mempertahankan semangat dan impian mereka. Mereka belajar tidak hanya ilmu agama Islam, tetapi juga ilmu pengetahuan umum seperti bahasa Inggris, bahasa Arab, dan kesenian. Ini menjadi salah satu kelebihan novel ini, karena mengubah pandangan stereotip tentang pondok pesantren. Namun, seperti kisah hidup pada umumnya, novel ini juga menunjukkan kelemahan. Beberapa tokoh tidak mendapatkan penggambaran yang jelas dan tajam, terutama tentang perjalanan hidup mereka setelah cerita utama berakhir. Ini mungkin meninggalkan keingintahuan pembaca tentang nasib para karakter. 

Meskipun demikian, "Negeri 5 Menara" tetap menjadi kisah yang sangat baik untuk dibaca, terutama oleh para remaja. Cerita ini penuh dengan pesan inspiratif tentang perjuangan mencapai cita-cita tinggi dan pentingnya menjaga hubungan persahabatan. Pengalaman Alif dan teman-temannya di pondok pesantren menciptakan narasi yang mendalam, menggambarkan perjuangan talabul ilmi di kalangan remaja. Novel ini menawarkan pembacanya untuk menjelajahi kehidupan di pondok pesantren dengan segala tradisi dan nilai-nilai religius yang mendalam. 

Dengan penempatan tokoh remaja yang sangat tepat, novel ini menjadi gambaran nyata tentang perjuangan dan tantangan yang dihadapi oleh generasi muda dalam mengejar impian mereka. Pesan religius yang diselipkan dalam kisah juga menambah nilai makna dan kebermanfaatan dari novel ini. Sebuah perjalanan emosional yang penuh makna, "Negeri 5 Menara" mengajak pembacanya untuk merenung tentang arti hidup, keberanian menghadapi tantangan, dan pentingnya mempertahankan impian meskipun setinggi apa pun.

Dalam kategori novel yang mengangkat tema perjuangan, pendidikan, dan persahabatan di lingkungan pesantren, "Negeri 5 Menara" dapat dibandingkan dengan novel "Ayat-Ayat Cinta" karya Habiburrahman El-Shirazy. Meskipun keduanya memiliki latar belakang pesantren dan menyoroti nilai-nilai keagamaan, pendekatan mereka terhadap cerita dan fokus tema memiliki perbedaan yang mencolok. "Ayat-Ayat Cinta" mengeksplorasi perjalanan seorang mahasiswa bernama Fahri bin Abdillah yang belajar di Mesir. Ceritanya mencakup aspek-aspek religius dan romantisme, menampilkan keteguhan iman dan cinta Fahri. Sementara "Negeri 5 Menara" lebih menekankan pada kisah persahabatan antara enam santri dari berbagai wilayah di Indonesia, dengan pendalaman karakter yang lebih merinci kehidupan mereka di pondok pesantren. Keduanya membawa pembaca ke dalam dunia pesantren dan menunjukkan nilai-nilai kehidupan Islami, tetapi "Ayat-Ayat Cinta" memilih untuk mengeksplorasi lebih banyak elemen romantis sambil tetap mempertahankan sentuhan religius. Sebaliknya, "Negeri 5 Menara" lebih menitikberatkan pada aspek kebersamaan dan perjuangan bersama dalam mengejar ilmu di lingkungan pesantren.

 Satu perbedaan mencolok antara keduanya adalah tone cerita. "Ayat-Ayat Cinta" memiliki nuansa romantis dan lebih dramatis, sementara "Negeri 5 Menara" lebih menonjolkan elemen inspiratif dan nilai-nilai persahabatan. Meskipun keduanya menciptakan cerita yang memikat dengan latar belakang keagamaan, mereka memilih fokus yang berbeda, menghasilkan pengalaman membaca yang unik untuk para pembaca. Dalam keseluruhan, baik "Negeri 5 Menara" maupun "Ayat-Ayat Cinta" memiliki keunikan masing-masing dalam menangani tema kehidupan di pesantren, perjuangan, dan nilai-nilai keagamaan. Pembaca yang tertarik dengan kisah yang sarat nilai moral dan kehidupan pesantren dapat menikmati kedua novel ini, sambil merasakan sentuhan berbeda yang dibawa oleh setiap penulis.

Kesimpulan dari kedua resensi tersebut menunjukkan bahwa novel "Negeri 5 Menara" mengisahkan perjalanan hidup enam santri di Pondok Madani, Ponorogo, yang terpisah dari rumah tetapi bersama-sama meraih ilmu dan membuka jendela dunia. Kisah ini dibuka dengan Alif, pemuda Minangkabau yang terkesan dengan alamnya, dan diutus ke pondok pesantren untuk mengejar pendidikan agama. Persahabatan erat dan perjuangan bersama di pondok pesantren menjadi fokus utama, sementara kekurangan dalam penggambaran beberapa tokoh dan nasib mereka setelah cerita utama berakhir diakui. 

Novel ini menciptakan suasana mendalam tentang kehidupan di pondok pesantren, menyoroti tantangan dan kedisiplinan ketat, namun tetap mempertahankan semangat dan impian para santri. Meskipun memiliki kekurangan, "Negeri 5 Menara" tetap menjadi kisah yang inspiratif, menyampaikan pesan perjuangan mencapai cita-cita tinggi dan pentingnya menjaga hubungan persahabatan. Penempatan tokoh remaja dengan baik menciptakan gambaran nyata tentang perjuangan dan tantangan generasi muda dalam mengejar impian mereka, sambil menyelipkan pesan religius yang mengajak pembaca merenung tentang arti hidup, keberanian menghadapi tantangan, dan pentingnya mempertahankan impian. 

Dalam perbandingan dengan novel sejenis seperti "Ayat-Ayat Cinta" karya Habiburrahman El-Shirazy, terlihat bahwa meskipun keduanya berlatar pesantren dan mengeksplorasi nilai-nilai keagamaan, mereka memiliki pendekatan dan fokus tema yang berbeda. "Ayat-Ayat Cinta" lebih menonjolkan unsur romantis dan dramatis dengan nuansa religius, sementara "Negeri 5 Menara" lebih menekankan pada kebersamaan, persahabatan, dan perjuangan bersama dalam mengejar ilmu di lingkungan pesantren. Keduanya memberikan pengalaman membaca yang unik, mengenalkan pembaca pada kehidupan pesantren dengan sudut pandang dan nuansa yang berbeda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun