Mohon tunggu...
Muhammad zahid Zakhrafi
Muhammad zahid Zakhrafi Mohon Tunggu... Mahasiswa - UDA RAFI

PERBANKAN SYARIAH

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Jual Beli dalam Perspektif Islam (Fiqih Muamalah)

10 Juni 2023   22:09 Diperbarui: 10 Juni 2023   22:17 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sebelum penulis membahas secara mendalam mengenai transaksi jual beli, perlu terlebih dahulu kita memahami konsep jual beli agar dapat memahami dengan jelas makna dan intensi yang dimaksud pada artikel ini. Dalam konteks hukum Islam, jual beli dikenal sebagai al-bai', yang mengacu pada tindakan menjual, menukar, atau menggantikan suatu barang dengan barang lainnya. Istilah al-bai' dalam bahasa Arab kadang-kadang juga digunakan untuk merujuk pada lawannya, yaitu asy-syira (membeli). Dengan demikian, kata al-bai' merujuk pada tindakan menjual sekaligus membeli.

Dasar hukum jual beli berasal dari al-Qur'an dan hadits, seperti yang disebutkan dalam Surah al-Baqarah ayat 275. Ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah menghalalkan jual beli bagi hamba-hamba-Nya dengan syarat-syarat yang baik, sementara praktek jual beli yang melibatkan riba dilarang.

Setelah memahami pengertian dan dasar hukumnya, bisnis jual beli dapat diartikan sebagai pertukaran harta secara sukarela dan berdasarkan kesepakatan bersama. Untuk memastikan bahwa bisnis yang kita jalankan halal, perlu memperhatikan rukun dan syarat-syarat jual beli. Rukun mengacu pada persyaratan yang harus dipenuhi agar transaksi tersebut sah, sedangkan syarat merujuk pada ketentuan yang harus ditaati dan dilaksanakan.

Ada beberapa jenis jual beli (bisnis) dalam Islam yang dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu dari perspektif hukum Islam dan perspektif barang yang diperdagangkan. Dalam pandangan hukum Islam, bisnis dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu jual beli (bisnis) yang sah menurut hukum Islam dan jual beli yang tidak sah menurut hukum Islam.

a) Jual beli barang-barang yang diharamkan.
b) Jual beli sperma (mani) hewan. Hukum Islam memperbolehkan penjualan daging kambing yang belum dikuliti dengan ukuran timbangan, dan hal yang sama berlaku untuk penjualan ayam yang masih memiliki kotoran di dalam perutnya.
c) Jual beli dengan perantara (al-wasilat), yaitu ketika seseorang memesan barang melalui perantaraan dengan akad jual beli yang belum sempurna, tetapi kemudian dia membatalkannya. Para ulama memperbolehkan jual beli dengan melakukan pembayaran terlebih dahulu agar barang tersebut tidak dibeli oleh orang lain.
d) Jual beli anak binatang yang masih berada di dalam perut induknya tidak diizinkan karena barangnya belum ada dan belum terbentuk.
e) Jual beli muhaqallah/baqallah, yaitu penjualan tanah, sawah, dan kebun yang berarti menjual tanaman yang masih berada di ladang atau sawah yang belum memiliki bentuk pasti. Hal ini masih diragukan karena dapat menimbulkan ketidakpastian bagi pembeli atau penyesalan dari penjual, dan termasuk dalam kategori jual beli gharar.
f) Jual beli mukhadharah, yaitu penjualan buah-buahan yang belum matang untuk dipanen. Hal ini dilarang karena masih dalam kondisi tidak jelas, seperti kemungkinan buah-buahan jatuh ditiup angin sebelum diambil oleh pembeli atau busuk dan sejenisnya.
g) Jual beli muammasah, yaitu transaksi jual beli yang melibatkan sentuhan langsung pada kain yang sedang dipajang, di mana orang yang menyentuh kain tersebut diharuskan untuk membelinya.
h) Jual beli dengan munabadzah, yaitu transaksi jual beli yang dilakukan dengan melempar barang, di mana harga tertinggi akan memperoleh barang tersebut. Hal ini dihindari untuk mengurangi risiko penipuan.
i) Jual beli muzaabanah, yaitu penjualan barang yang basah dan kering secara bersamaan, yang mengakibatkan ketidakseimbangan dalam barang yang diperdagangkan. Dalam bisnis Islam, diberikan kebebasan untuk memilih apakah ingin membatalkan atau melanjutkan transaksi jual beli (bisnis), yang dalam hukum Islam disebut sebagai khiyar. Khiyar adalah mencari kebaikan dari kedua pilihan, yaitu melanjutkan atau membatalkan. Dalam konteks jual beli, khiyar mengacu pada kebebasan untuk memilih apakah transaksi tersebut akan dilanjutkan atau dibatalkan karena suatu alasan.

Bagi umat Islam yang terlibat dalam bisnis dan mematuhi prinsip-prinsip hukum Islam, mereka akan merasakan berbagai manfaat, antara lain:
(a) Jual beli (bisnis) dalam Islam dapat memiliki nilai sosial, seperti saling membantu dan berbagi, yang akan membawa berbagai pahala.
(b) Bisnis dalam Islam merupakan salah satu cara untuk menjaga kebersihan dan kehalalan makanan bagi diri sendiri dan keluarga.
(c) Bisnis dalam Islam merupakan upaya untuk memberantas kemalasan, pengangguran, dan eksploitasi terhadap orang lain.
(d) Berbisnis dengan jujur, sabar, ramah, dan memberikan pelayanan yang memuaskan, seperti yang diajarkan dalam Islam, akan selalu mempererat hubungan persahabatan dengan sesama manusia.

Jual beli adalah pertukaran harta dengan harta yang dilakukan dengan cara tertentu. Pada dasarnya, jual beli merupakan perjanjian yang diperbolehkan, hal ini didasarkan pada dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur'an, Hadis, dan Ijma' Ulama. Rukun jual beli meliputi tiga hal, yaitu adanya akid (pihak yang melakukan perjanjian), ma'qud alaihi (barang yang menjadi objek perjanjian), dan shighat, yang terdiri dari ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan). Jual beli yang tidak memenuhi semua rukun dan syarat secara sempurna disebut sebagai jual beli batil, contohnya adalah ketika penjual tidak memiliki kompetensi yang memadai atau barang yang tidak dapat diserahkan dengan baik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun