Sisi manis sebuah film drama keluarga menjadi elemen penting untuk menghibur penonton. Saya pikir, Anda pun akan sepakat dengan hal tersebut.
Adam dan warna-warni properti. Keduanya memberi kesan "manis" dalam film Dua Hati Biru. Setidaknya, dua hal itulah yang saya rasakan. Mungkin Anda akan merasakan elemen lain tatkala menonton film garapan Gina S. Noer dan Dina Jasanti tersebut.
Adam, sosok anak kecil buah hati dari Bima (Angga Yunanda) dan Dara (Aisha Naura Datau). Tingkah lakunya sungguh menggemaskan. Cara dia bertutur memancarkan kecerdasan yang diwariskan oleh kedua orang tuanya.
Adam sebagai sentral dari cerita terasa menggantikan Bima dan Dara dalam film pertamanya, Dua Garis Biru. Meskipun menampilkan sosok balita tetapi ini bukanlah film tentang anak-anak. Ini tentang keluarga yang diarahkan oleh sosok anak lelaki berusia lima tahun.Â
Latar cerita memang di kawasan padat penduduk. Rumah di antara gang dan kali berisi sampah, sesuatu yang tidak ditutupi. Namun, warna-warni di layar seakan menutupinya.Â
Biru di antara dinding kelabu, merah di sela selokan yang mulai menghitam. Pasar tradisional yang agak berbeda dengan suasana yang biasa kita kenal.Â
Mungkin karena selera saya tidaklah suka drama yang terkesan "berlebihan", sisi manis film ini nyantol di hati. Ada kalanya terharu. Adakalanya merasa diajak untuk bermanja.
Saya pikir, begitulah kelebihan film drama Indonesia. Jelas tidak usah meniru film India. Mengikuti film Korea pun alakadarnya saja. Kalau terlalu meniru, penonton pun bisa bosan karena tak ada suguhan yang baru.
***
Pengalaman saya menonton film ternyata tidak hanya "dikejutkan" oleh aksi menawan para karakternya. Andaikan saya masih menganggap film Indonesia membosankan dan terlalu biasa, maka sulit untuk menikmatinya. Jika saja bersikukuh bahwa genre aksi petualangan tetaplah yang paling seru, maka sulit untuk menikmati drama rumah tangga yang merajalela.