Izinkan saya untuk menyampaikan hal yang lumayan "mengganggu" pikiran perihal kehidupan lambat yang perlahan ditinggalkan oleh sebagian warga desa.Â
Dahulu, ketika saya masih anak-anak, belum tampak orang-orang yang berangkat kerja tergesa bahkan saat malam. Kini, sering terlihat warga desa--terutama pemuda-- yang berjalan tergesa menuju tempat kerja. Saya tahu karena mereka mengenakan seragam perusahaan yang khas. Sebagaimana warga kota, bekerja tanpa mengenal waktu dijalankan karena beberapa alasan.
Di desa kami telah berdiri pabrik.
Semenjak ada pabrik, perlahan gaya hidup warga desa berubah. Ada peralihan profesi pada generasi masa kini. Apabila orang tuanya berangkat ke sawah atau ladang ketika pagi hari dan pulang ketika siang, maka pegawai pabrik tak akan pulang sebelum menyelesaikan shif kerjanya. Waktu kerja tidak lagi ditentukan oleh gerak rotasi bumi.Â
Bahkan, waktu beraktifitas pun ditukar sebagaimana hewan nokturnal. Malam bekerja, siang hari tertidur. Bila perlu demikian maka akan dilakukan.Â
Dahulu, gaya hidup tertukar demikian tidaklah dikenal. Kini, perlahan kami pun mulai terbiasa melihatnya.
Tidak terlalu heran jika ada yang tidak mengenal matahari. Mungkin, benda langit itu bakal disebut musuh. Karena dianggap tak berguna. Berbeda dengan ibu dan bapanya yang telah membiasakan diri terpapar matahari sejak usia dini. Memanggang kulit sambil mengolah lahan meskipun tidak selalu milik sendiri.
Ya, demikianlah konsekuensi dari pembukaan lapangan kerja di desa. Salah satu dari sekian banyak akibat jika perusahaan menempatkan lini produksi di desa kami.
Tentu, manajemen puncak dari pabrik tersebut berada di Kota Besar. Entah siapa, saya tidak tahu. Hal yang pasti, pola kerja pegawai ditentukan oleh mereka yang memegang puncak pimpinan.Â
Saya bukan karyawan pabrik, tidak merasakan langsung bagaimana industrialisasi mempengaruhi cara hidup kami. Namun, mengamati betapa pelaku industri tidak lagi menggunakan sinar matahari sebagai penanda waktu.Â