Saya hanya ingin bercerita tentang orang yang suka mengkritik. Hal yang baik, memang. Namun, kritikannya malah menghasilkan pertentangan.Â
Kritikan dari Si Tukang Kritik malah membuat orang marah, tersinggung malah saling saling benci. Andaikan kata-katanya ditulis di atas kertas kemudian dibaca oleh Google Voice maka tidak akan terdengar "pedas". Tetapi, apa jadinya jika kalimat-kalimat kritis yang dimaksud untuk memperbaiki itu disampaikan di depan khalayak umum?
Pernahkah Anda menemukan satu orang yang suka "menunjuk muka" orang lain di depan umum? Jari telunjuk orang tersebut tidak segan untuk diangkat ke atas. Matanya membelalak laksana mata seorang raksasa dalam kisah pewayangan.Â
Dalam panggung kehidupan, Si Tukang Kritik berdiri di barisan paling depan. Dia meminta perhatian orang-orang agar dirinya didengar. Sungguh, dia sebenarnya menginginkan perhatian. Heh, terkadang apa yang dibicarakan oleh Si Tukang Kritik bukanlah sesuatu yang terlampau penting untuk dibicarakan.Â
Anggaplah Anda memiliki sebuah kesalahan. Hanya kesalahan kecil saja, bukan dosa besar yang bisa mencoreng nama baik keluarga. Misal, sebatas perkara buang sampah sembarangan.
Lalu, Si Tukang Kritik menegur di depan umum. Jelas, semua mata tertuju kepada Anda.
Dia hanya ingin orang lain terlihat bodoh.Â
Para pengkritik bisa jadi adalah tipe manusia minim empati. Dia tidak menempatkan dirinya pada posisi orang yang dikritik. Orang itu malah memperlebar jarak dengan orang yang dikritik. Andaikan dia memiliki empati, maka Si Pengkritik tidak akan mempermalukan objek penderita.Â
Dia akan tetap menjaga wibawa manusia yang dianggap salah. Dia akan menjaga harga diri manusia di sekitarnya. Tak terpikir usaha untuk membunuh karakter seseorang.Â
Setelah dia memojokkan si objek tertuduh, apakah dia akan jumawa? Merasa menang karena baginya percaturan kehidupan adalah sebuah pertandingan. Tak terpikirkan jika kehidupan adalah usaha untuk memperbaiki keadaan, tanpa henti.Â