Perlahan, Pemerintah mengajak investor untuk membuka perusahaan di desa. Lahan produktif dikorbankan menjadi lokasi pendirian pabrik. Saya pikir, memang itulah cara paling mungkin untuk menyediakan begitu banyak lapangan kerja. Desa peralihan (rural urban fringe) memang tidak cocok untuk dijadikan tujuan wisata. Alamnya tidak lagi asri karena peralihan fungsi. Kalaupun para pecinta lingkungan berteriak untuk menolak investasi yang merusak ekosistem, warga desa tidak punya banyak pilihan selain menyambut dan mendukung pendirian perusahaan.Â
Warga pun berbondong-bondong menjadi karyawan dari perusahaan yang baru berdiri. Kami, pemuda desa tanpa skill ya senang saja jika ada pabrik yang tidak mensyaratkan keahlian khusus. Modal kami hanyalah kemauan untuk bekerja karena kesempatan seakan didekatkan. Jika dibandingkan harus pergi ke kota maka bekerja di pabrik masih mending. Setidaknya bisa menghemat uang makan, uang kontrakan dan uang transport.
Andaikan pemuda di desa peralihan seperti kami tidak segera mendaftar menjadi buruh pabrik maka pilihannya adalah pergi ke kota. Sebuah kebiasaan sejak lama karena ketidaksediaan lapangan kerja.Â
Setelah di kota, ya bekerja apa saja. Berjualan di pinggir jalan atau karyawan supermarket pun, tidak masalah. Jika ibu-bapa punya biaya untuk menyekolahkan kami ke perguruan tinggi, maka menjadi mahasiswa dalam waktu 4-5 tahun. Setelah itu, kami berganti status menjadi warga kota karena bekerja, punya rumah dan berkeluarga di perkotaan. Pulang jika liburan atau lebaran. Itupun kalau masih ingat dengan tanah kelahiran dan handai tolan.Â
***
Ada hal yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini, yakni keberatan kami sebagai pemuda desa. Kami tidak ingin menjadi warga kota sepenuhnya. Sekaligus kami pun tidak sanggup lagi untuk menjadi warga desa yang serba tradisional.Â
Coba Anda bayangkan, Â jika kami harus bangun pagi kemudian memanggul cangkul di pundak. Kaki anak muda masa kini jarang dilatih untuk menapaki pematang sawah atau jalan setapak menuju kebun. Apalagi diharuskan mencari kayu bakar hingga ke hutan, ah sebuah pekerjaan yang melelahkan.Â
Desa peralihan bukanlah desa yang memegang teguh adat kebiasaan. Terlebih pemudanya. Asal Anda tahu, sejak kecil kami diwajibkan untuk menuntut ilmu di sekolah. Alasannya, agar kami tidak ketinggalan zaman. Namun, sekolah telah membuat kami menjadi warga yang meninggalkan perkara yang serba tradisional.Â
Kami warga yang ingin beralih dari hal yang serba tradisional, namun entah menuju ke mana. Apakah akan menjadi masyarakat industri yang kompetitif dan dinamis atau terdiam di jembatan yang menghubungkan dua peradaban nan berbeda dalam banyak hal.
Sayangnya, jembatan itu berada di atas sungai yang berarus sangat deras. Anggaplah itu sebuah arus zaman yang sulit dibendung.Â
Jika jembatan ini runtuh maka orang yang ada di atasnya bisa hanyut dan tenggelam. Tanpa ada pegangan. Kalaupun ada pegangan, misalnya akar pohon, akan sulit meraih saking derasnya arus zaman.Â