Saya menjadi bertanya-tanya, "bukankah apa yang dia indera terbatas pada ruang dan waktu?"Â
Meskipun memiliki pengalaman hidup di tanah penuh konflik, apakah serta merta dia memahami akar masalah dari konflik tersebut? Toh, kompleksitas masalah harus bisa dimengerti dengan mengumpulkan sebanyak mungkin informasi; kemudian mengolah setumpuk data tersebut dalam otak dengan pola berpikir yang terstruktur. Memahami keadaan tidak cukup dengan mengandalkan kebanggaan akan pengalaman apalagi perasaan.Â
Dalam memandang persoalan, saya pikir perlu ada cara pandang mata elang ditambah cara pandang mata cacing. Perpaduan keduanya akan dirasa lebih mantap tanpa harus saling meremehkan.
Orang yang mengalami perlu didengarkan. Orang yang memahami perlu dijadikan acuan.
Kembali pada contoh perkara bercocok tanam dan memelihara hewan. Andaikan ada kegagalan panen, mungkin bukan caranya yang salah karena sudah diterapkan bertahun-tahun. Tetapi, mari kita lihat persoalan dari cakupan yang lebih luas (makro) sebagaimana seekor elang melihat permukaan daratan dari ketinggian udara. Bisa saja sebuah kegagalan merupakan faktor pemanasan global yang belum pernah terpikirkan jika menggunakan sudut pandang mata cacing _yang mencakup hal sangat sempit (mikro).
Jadi, kerendahan hati perlu ada pada manusia-manusia yang dikaruniai budi pekerti. Ketika seorang manusia yang rajin berpikir lebih bisa memahami keadaan meskipun minim pengalaman, ya pendapatnya layak didengar. Begitupula orang yang sarat akan pengalaman, dia menjadi sumber informasi penting meskipun tidak pandai mengolah data yang tak kasat mata.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H