Ketika internet belum semudah saat ini, saya bingung harus bagaimana menyalurkan kebiasaan mengamati keadaan sekitar. Apa yang dilihat, didengar dan dirasakan hanya bisa direkam dalam otak. Menumpuk menjadi data-data dalam bentuk ingatan, itupun jika bisa mengingatnya.Â
Kemudian, internet menjadi akrab dengan keseharian. Dimulai dengan mengakses media daring melalui warnet hingga lama-kelamaan hal tersebut semakin dimudahkan bahkan dalam genggaman. Masa ini, akan menjadi momen "mengagetkan" bagi sebagian orang. Namun, tidak demikian dengan saya yang memiliki kebiasaan mengamati.
Hasil  pengamatan pun dapat disimpan dan disebarkan melalui internet. Media sosial tidak mesti diisi dengan kegiatan sehari-hari yang bisa mengundang bahaya jika dibagi.
***
Pada mulanya, gejala serba ingin tahu hanya dianggap sebagai kebiasaan anak kecil yang terbawa hingga dewasa. Hobi membaca pun malah diasosiasikan sebagai kebiasaan anak pintar sehingga orang tua berkesimpulan jika saya harus disekolahkan hingga derajat tertinggi.Â
Namun, mengamati bukanlah modal bagi mereka yang menyukai sekolah formal. Di dunia digital, mengamati menjadi modal dalam berinteraksi di ranah virtual.Â
Setiap unggahan bukan sekedar berisi kegundahan. Apa yang disebarkan menjadi informasi yang telah dikurasi. Setidaknya, diseleksi menurut versi sendiri.Â
Mengamati, menyeleksi kemudian membagi. Begitulah urutan sederhana yang saya lakukan ketika berinteraksi di dunia maya. Tidak mudah tergoda untuk sekedar mengikuti tren sesuai tagar (#).
Sebagaimana foto yang diunggah di Kompasiana saat ini, sebuah foto induk burung kareo padi dan tiga anaknya. Demi memperoleh foto tersebut, tentu saja harus mengamati dalam waktu tidak sebentar. Bisa dalam hitungan bulan.Â
Mulai dari sepasang burung yang kawin, bertelur hingga menetas. Momen penting ketika parenting dipotret walaupun tidak sebagus fotografer profesional. Masa tersebut tidak bisa terulang dalam waktu dekat. Maka dari itu, membagikannya pun terasa bermakna bukan hanya sekedar ingin ditanggapi saja.