Di rumah saya, menjadi ritual harian. Bangun pagi, menyeduh secangkir kopi bagi orang dewasa. Anak-anak bersiap untuk berangkat sekolah sembari menyantap  singkong goreng atau semacamnya.
Ruang makan _yang menyatu dengan dapur_ menjadi sangat berisik karena Bapa menjadi banyak bicara. Ibu pun memiliki banyak energi untuk mengungkapkan isi hati atau menggunjing tetangga. Para anak, ya harus menjadi pendengar yang baik.
Andaikan ada tetangga yang mendengar celotehan saat hari masih gelap, mereka tidak akan curiga jika yang bicara memang penghuni rumah. Bukan kuntilanak atau semacamnya. Justru jika ada rumah yang sepi malah bertanya-tanya, ke mana penghuninya?
***
Saya curiga jika warga perkotaan tidak mengalami hal tersebut. Bangun pagi-pagi langsung mandi, tak lama kemudian pergi. Alasannya sih mencari rezeki (atau mencari gengsi?)
Ritual berbincang sesama anggota keluarga tidak menjadi kebiasaan. Mungkin anda sangat diburu waktu sehingga tidak ada celah untuk sekedar berbincang-bincang; menyampaikan apa yang dialami kemarin serta rencana esok hari.
Sedangkan kami _warga desa_ tidak didesak oleh detak jarum jam di dinding.
Tidak ada bos yang menelepon menyuruh segera tiba di kantor. Tidak terdengar suara klakson mobil jemputan. Kami tidak terburu-buru.
Jika diingat kembali, suasana dapur di pedesaan lebih hangat ketika warganya masih menggunakan tungku. Belum ada televisi apalagi ponsel pintar yang mengalihkan perhatian. Demi mengusir udara dingin pegunungan, semua anggota keluarga berkumpul di depan tungku untuk menghangatkan diri dan menghangatkan hati.
Singkong bakar menjadi menu sarapan favorit. Sekaligus, wejangan orang tua kepada anak biasanya tersampaikan pada saat itu. Dinding dapur yang menghitam tidak serta merta membuat keadaan terasa kelam. Justru sebaliknya, kehidupan yang tidak berpihak kepada sebagian besar warga terasa biasa saja sejak memulai hari.
***