Setelah dewasa, menjelang tua, saya mulai menyadari jika menyanjung anak benar-benar berpengaruh kepada bagaimana seseorang berpikir. Hal yang paling kentara adalah bagaimana membangun kepercayaan diri anak untuk menentukan pilihan dan bertanggungjawab kepada pilihannya itu. Ditambah menerima resiko dengan pilihannya.
Dengan sanjungan, si anak tahu apa potensi dirinya sejak dini. Karena alasan itu pula, kami sering menyanjung anak-anak di keluarga kami dalam banyak hal.
Antusiasme akan sesuatu hal tumbuh. Walaupun di satu sisi mereka kurang antusias dalam hal yang kurang mendapatkan sanjungan.
Setidaknya, mereka tahu jika ada hal yang "kurang" dalam dirinya. Sekaligus, mereka fokus dalam hal yang dianggap "lebih" dalam dirinya. Diharap mereka tidak terbawa arus sehingga terlihat identitas diri yang unik.
Keunikan menjadi hal yang sangat berarti buat kami (generasi yang penuh penyesalan). Menyesal karena terombang-ambing oleh arus tanpa bisa menentukan apa yang ingin kami lakukan dalam hidup. Tidak sanggup memilih diantara begitu banyak pilihan.
***
Jika saya baru menyadari keunikan saya di usia tiga puluh, keponakan saya sudah menyadari keunikannya di usia tiga tahun. Berbarengan dengan perubahan kurikulum yang mengedepankan keunikan siswa. Gayung bersambut, karena saya pun kurang setuju dengan sekolah yang tidak memasukkan "keunikan" dalam nilai rapor.
Saya pikir, sanjungan kepada anak bisa menjadi salah satu cara agar belajar efektif dan efisien. Berfokus kepada tujuan si anak sehingga tidak tertekan oleh tuntutan lingkungan.
Pikiran anak akan tertuju kepada bagaimana masa depan "dirinya" di tengah kehidupan. Bukan berpikir jika nasib yang tidak berpihak kepadanya, tetapi dia siap menempatkan diri di tengah "nasib" yang menimpanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H