Awalnya, saya berpikir jika ide bukanlah sesuatu yang penting. Ide hanya ada dalam pikiran semata. Bukan sesuatu yang harus dipandang sebagai "benda berharga" apalagi diapresiasi.
Kebiasaan kami di pedesaan, memandang sesuatu yang berharga adalah benda yang "bisa diraba". Hal yang belum terlaksana hanya akan dipandang sebelah mata. Bahkan, tidak usah heran jika membicarakan sebuah ide tidak akan langsung disambut dengan tangan terbuka. Bisa jadi malah menimbulkan curiga.
Jika ide tertanam dalam pikiran maka tidak usah heran hanya dianggap sebagai angan-angan. Sebagian orang beranggapan jika alam raya hanya terbentuk dari alam yang terindera. Tidak terbersit jika ada "alam ide" yang hanya tergambar dalam pikiran semata.
Andaikan anda bertemu anak cerdas yang memiliki banyak ide, tidak usah heran hanya dipandang sebagai sifat kekanak-kanakan. Terlebih, jika anak itu terlalu banyak bicara sehingga terkesan mengada-ada.
Ketika si anak beranjak dewasa, ide-ide yang tertanam bisa "melayu" bahkan "mati". Dalam budaya kami, menggali ide-ide nyaris tidak ada. Sejak dini kami dibiasakan untuk belajar meniru apa yang telah ada di depan mata. Bahkan, untuk urusan menjalani profesi pun kami "diharuskan" meniru tetangga atau saudara yang sudah sukses di bidangnya.
***
Saya bisa beranggapan demikian, karena mengalami sendiri bagaimana sulitnya menyampaikan ide-ide di tengah keluarga. Merasa takut bicara karena bisa jadi dianggap sebagai "aneh-aneh saja".
Bahkan, ketika sumberdaya pendukung untuk mewujudkan ide itu sudah ada pun sulit terkomunikasikan. Komunikasi yang dipahami oleh orang-orang di sekitar kami adalah "buktikan dahulu maka kami akan percaya, bukan hanya bicara semata".
Kalau ide yang dimaksud sudah menjadi uang, maka mereka akan percaya.
Karena anggapan demikianlah, sumberdaya yang ada menjadi tidak berguna. Secara tidak disadari, kami menjadi manusia yang tidak mensyukuri apa yang ada. Hal yang jauh dikejar dengan susah payah, sedangkan yang dekat menjadi sampah.