Jika anda lahir dan tumbuh kembang di perkotaan, mungkin pernah menyaksikan fenomena warga desa yang berdatangan ke kota untuk mencari pekerjaan. Sebaliknya, kami warga desa sudah biasa menyaksikan orang dewasa yang meninggalkan desa untuk mencari kerja di kota.
Awalnya, saya pikir itu hanya masalah kesempatan yang tidak banyak tersedia di desa. Apalagi kami yang hidup di wilayah pertanian, ketika musim tanam berakhir maka kesempatan kerja itu otomatis hilang. Solusi jangka pendeknya adalah mencari pekerjaan di perkotaan. Ketika pekerjaan tetap sulit didapatkan, bersyukur masih mendapatkan pekerjaan musiman.
Namun, saya mulai berpikir jika fenomena seperti di atas dimulai dari nilai budaya yang kami anut. Kami _warga desa_ masih berpikir jika urusan pekerjaan adalah tanggung jawab penguasa.
Tidak ada dalam pikiran sebagian warga untuk menciptakan pekerjaan. Karena berpikir jika penciptaan hanyalah urusan Tuhan.
Terkadang, kami masih menganggap jika penguasa di Indonesia adalah raja, titisan Sang Penguasa. Di masa raja-raja masih berjaya di Nusantara, warga desa diberi "pekerjaan" untuk mengolah lahan. Petani menganggap jika profesinya sebagai petani adalah "titah" sekaligus  sikap "pemurah" raja.
Jika warga desa tidak bekerja, Pemerintah menjadi pihak yang paling disalahkan. Sebagian besar warga desa masih menganggap jika bekerja semata untuk kebutuhan bukan bentuk kehormatan apalagi aktualisasi diri. Bahkan, bekerja adalah bentuk kutukan sebagaimana dahulu raja mentitahkan para warga untuk mengolah lahan. Kemudian sebagian besar hasilnya diboyong ke istana.
***
Andaikan anda sedang berkendara untuk berangkat kerja, kemudian mendapati ada orang-orang yang berdiri di pinggir jalan. Tanyakanlah, apakah dia sedang menunggu pekerjaan datang?
Ini memang perkara rumit. Mengetahui cara berpikir seorang manusia bukanlah menggali emas di lubang tambang. Itu masih mending karena tampak secara fisik. Menggali kedalam pikiran manusia hanya bisa dilihat dengan kasat mata.
Saya pun hanya mengerti "sekelumit" saja apa yang tengah terjadi di sekitar. Semua yang disampaikan dalam tulisan ini masih bersifat spekulasi. Mungkin saja tidak berdasarkan pada suatu teori. Meskipun kita semua maklum teori hari ini bisa saja berubah di esok hari.
Hanya saja, setidaknya kita bisa mengerti inti masalah yang terjadi. Apa yang tampak secara kasat mata tidak hanya diselesaikan dengan solusi yang sifatnya sementara.
Membutuhkan orang-orang yang mau berpikir panjang, setidaknya berpikir untuk tiga generasi. Mengubah persepsi warga jika hidup ini semata tentang saat ini, bukanlah perkara mudah. Saya sangat berharap ada diantara anda yang memikirkan warga desa demi tiga generasi. Generasi anda, generasi anak anda dan generasi cucu anda.
Warga desa membutuhkan orang-orang yang berpikir jika "pekerjaan" tidak sama dengan bulir padi yang menyembul dari tanah. Kalau waktu panen tiba, manusia bisa menikmatinya. Pekerjaan adalah suatu benda yang "diciptakan" karena sebuah proses panjang bahkan sebelum kita lahir.
Ada prinsip sebab akibat yang hanya bisa dimengerti oleh orang-orang "terpilih". Dan, orang-orang terpilih itu bukan hanya para raja atau titisan Dewa. Bisa saja anda sendiri yang sudi berinvestasi untuk bekal di kemudian hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H