Sejak listrik masuk desa, tempat-tempat gelap itu sudah diterangi lampu. Sehingga, bisa dibedakan mana makhluk ghaib dan mana khayalan anak kecil semata.
Sayangnya, karena listrik pula hiburan menjadi mudah didapatkan. Film yang biasa ditonton di bioskop, kini bisa disaksikan di bioskop daring. Polanya menjadi terbalik, orang kotalah yang membuat mitos dan menakut-nakuti orang desa.
Ah, memang benar jika media massa laksana pedang bermata dua.
***
Ketika saya menuduh film sebagai penyebab orang kota menjadi penakut, bukan berarti film harus "direduksi" menjadi sangat membosankan. Film hanya produk fiksi sebagaimana mitos itu sendiri.
Saya akan menempatkan diri sebagai penonton yang sama-sama suka film horor. Suasana bioskop atau rumah sepi memang bisa merangsang imajinasi. Sutradara sudah berhasil mengajak penonton masuk ke dalam pengalaman yang disajikan.
Anak kecil menonton film horor bisa menjadi kelompok rentan karena masih sulit membedakan mana fiksi dan kreasi semata. Remaja pun_ sebagai penonton yang suka penasaran_ masih kekurangan referensi pembanding.
Ketika menonton film horor yang sedang trending di medsos, ramai-ramai menikmati dan menganggapnya sebagai "hal baru". Padahal, bagi generasi yang akrab dengan Suzanna saya melihat film horor ya ceritanya berputar-putar di sekitar topik yang sama. Hanya kemasan yang berbeda.
Apabila orang dewasa mengajak anaknya menonton film horor, bagikan pula cerita rakyat _yang penuh mitos itu_ sehingga memiliki persepsi lain. Andaikan cerita rakyat tumbuh dari manusia dengan peradaban rendah, kenapa manusia dengan peradaban lebih tinggi terlalu mudah dimanipulasi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H